Selasa, 17 Januari 2012

Hubungan Jepara,Kerajaan Majapahit, dinasty Pallawa dan Nabi Ibrahim

Di dalam Mitologi Jawa diceritakan bahwa salah satu leluhur Bangsa Sunda (Jawa) adalah "Batara Brahma" atau Sri Maharaja Sunda, yang bermukim di Gunung Mahera. Selain itu, nama Batara Brahma, juga terdapat di dalam Silsilah Babad Tanah Jawi. Di dalam Silsilah itu, bermula dari Nabi Adam yang berputera Nabi Syits, kemudian Nabi Syits menurunkan Sang Hyang Nur Cahaya, yang menurunkan Sang Hyang Nur Rasa. Sang Hyang Nur Rasa kemudian menurunkan Sang Hyang Wenang, yang menurunkan Sang Hyang Tunggal. Dan Sang Hyang Tunggal, kemudian menurunkan Batara Guru, yang menurunkan Batara Brahma. Berdasarkan pemahaman dari naskah-naskah kuno bangsa Jawa, Batara Brahma merupakan leluhur dari raja-raja di tanah Jawa. Di dalam Kitab ‘al-Kamil fi al-Tarikh‘ tulisan Ibnu Athir, menyatakan bahwa Bani Jawi (yang di dalamnya termasuk Bangsa Sunda, Jawa, Melayu Sumatera, Bugis… dsb), adalah keturunan Nabi Ibrahim.
Bani Jawi sebagai keturunan Nabi Ibrahim, semakin nyata, ketika baru-baru ini, dari penelitian seorang Profesor Universiti Kebangsaaan Malaysia (UKM), diperoleh data bahwa, di dalam darah DNA Melayu, terdapat 27% Variant Mediterranaen (merupakan DNA bangsa-bangsa EURO-Semitik).
Variant Mediterranaen sendiri terdapat juga di dalam DNA keturunan Nabi Ibrahim yang lain, seperti pada bangsa Arab dan Bani Israil.
Sekilas dari beberapa pernyataan di atas, sepertinya terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Akan tetapi, setelah melalui penyelusuran yang lebih mendalam, diperoleh fakta, bahwa Brahma yang terdapat di dalam Metologi Jawa indentik dengan Nabi Ibrahim.

Brahma adalah Nabi Ibrahim
Mitos atau Legenda, terkadang merupakan peristiwa sejarah. Akan tetapi, peristiwa tersebut menjadi kabur, ketika kejadiannya di lebih-lebihkan dari kenyataan yang ada.
Mitos Brahma sebagai leluhur bangsa-bangsa di Nusantara, boleh jadi merupakan peristiwa sejarah, yakni mengenai kedatangan Nabi Ibrahim untuk berdakwah, dimana kemudian beliau beristeri Siti Qanturah (Qatura/Keturah), yang kelak akan menjadi leluhur Bani Jawi (Melayu Deutro).
Dan kita telah sama pahami bahwa, Nabi Ibrahim berasal dari bangsa ‘Ibriyah, kata ‘Ibriyah berasal dari ‘ain, ba, ra atau ‘abara yang berarti menyeberang. Nama Ibra-him (alif ba ra-ha ya mim), merupakan asal dari nama Brahma (ba ra-ha mim).
Beberapa fakta yang menunjukkan bahwa Brahma yang terdapat di dalam Mitologi Jawa adalah Nabi Ibrahim, di antaranya :

1. Nabi Ibrahim memiliki isteri bernama Sara, sementara Brahma pasangannya bernama Saraswati.
2. Nabi Ibrahim hampir mengorbankan anak sulungnya yang bernama Ismail, sementara Brahma terhadap anak sulungnya yang bernama Atharva (Muhammad in Parsi, Hindoo and Buddhist, tulisan A.H. Vidyarthi dan U. Ali).
3. Brahma adalah perlambang Monotheisme, yaitu keyakinan kepada Tuhan Yang Esa (Brahman), sementara Nabi Ibrahim adalah Rasul yang mengajarkan ke-ESA-an ALLAH.

Ajaran Monotheisme di dalam Kitab Veda, antara lain :
Yajurveda Ch. 32 V. 3 menyatakan bahwa tidak ada rupa bagi Tuhan, Dia tidak pernah dilahirkan, Dia yg berhak disembah
Yajurveda Ch. 40 V. 8 menyatakan bahwa Tuhan tidak berbentuk dan dia suci
Atharvaveda Bk. 20 Hymn 58 V. 3 menyatakan bahwa sungguh Tuhan itu Maha Besar
Yajurveda Ch. 32 V. 3 menyatakan bahwa tidak ada rupa bagi Tuhan
Rigveda Bk. 1 Hymn 1 V. 1 menyebutkan : kami tidak menyembah kecuali Tuhan yg satu
Rigveda Bk. 6 Hymn 45 V. 6 menyebutkan “sembahlah Dia saja, Tuhan yang sesungguhnya”
Dalam Brahama Sutra disebutkan : “Hanya ada satu Tuhan, tidak ada yg kedua. Tuhan tidak berbilang sama sekali”.
Sumber :
http://rkhblog.wordpress.com/2007/09/10/hindu-dan-islam-ternyata-sama/

Ajaran Monotheisme di dalam Veda, pada mulanya berasal dari Brahma (Nabi Ibrahim). Jadi makna awal dari Brahma bukanlah Pencipta, melainkan pembawa ajaran dari yang Maha Pencipta.
4. Nabi Ibrahim mendirikan Baitullah (Ka’bah) di Bakkah (Makkah), sementara Brahma membangun rumah Tuhan, agar Tuhan di ingat di sana (Muhammad in Parsi, Hindoo and Buddhist, tulisan A.H. Vidyarthi dan U. Ali).
Bahkan secara rinci, kitab Veda menceritakan tentang bangunan tersebut :
Tempat kediaman malaikat ini, mempunyai delapan putaran dan sembilan pintu… (Atharva Veda 10:2:31)
Kitab Veda memberi gambaran sebenarnya tentang Ka’bah yang didirikan Nabi Ibrahim.
Makna delapan putaran adalah delapan garis alami yang mengitari wilayah Bakkah, diantara perbukitan, yaitu Jabl Khalij, Jabl Kaikan, Jabl Hindi, Jabl Lala, Jabl Kada, Jabl Hadida, Jabl Abi Qabes dan Jabl Umar.
Sementara sembilan pintu terdiri dari : Bab Ibrahim, Bab al Vida, Bab al Safa, Bab Ali, Bab Abbas, Bab al Nabi, Bab al Salam, Bab al Ziarat dan Bab al Haram.

Monotheisme Ibrahim
Peninggalan Nabi Ibrahim, sebagai Rasul pembawa ajaran Monotheisme, jejaknya masih dapat terlihat pada keyakinan suku Jawa, yang merupakan suku terbesar dari Bani Jawi.
Suku Jawa sudah sejak dahulu, mereka menganut monotheisme, seperti keyakinan adanya Sang Hyang Widhi atau Sangkan Paraning Dumadi.
Selain suku Jawa, pemahaman monotheisme juga terdapat di dalam masyarakat Sunda Kuno. Hal ini bisa kita jumpai pada Keyakinan Sunda Wiwitan. Mereka meyakini adanya ‘Allah Yang Maha Kuasa‘, yang dilambangkan dengan ucapan bahasa ‘Nu Ngersakeun‘ atau disebut juga ‘Sang Hyang Keresa‘.
Dengan demikian, adalah sangat wajar jika kemudian mayoritas Bani Jawi (khususnya masyarakat Jawa) menerima Islam sebagai keyakinannya. Karena pada hakekatnya, Islam adalah penyempurna dari ajaran Monotheisme (Tauhid) yang di bawa oleh leluhurnya Nabi Ibrahim.

Berdasarkan penyelusuran Genealogy, ada keterkaitan antara dinasty majapahit dengan Nabi ibrahim "
misteri dinasty majapahit". Keterkaitan itu, berawal dari kehadiran Dewawarman I, yang merupakan pendiri Kerajaan Salakanagara…
Sebagaimana kita ketahui, Dewawarman I berasal dari Dinasti Pallawa di India. Melalui keberadaan Dinasti Pallawa inilah, pada akhirnya penyelusuran genealogy, sampai kepada Nabi Ibrahim…

Mari kita ikuti, silsilah berikut…
Raden Aryawangsa < > Puti Istana Pakuan
Raden Abdullah alias pangeran Arya Jepara < > Fatimah
Pangeran Sabrang Lor alias Adipati Unus < > Putri Raden Patah
Raden Patah (Pendiri Demak)
Bhre Kertabhumi (Brawijaya)
Rajasawardhana alias Bhre Matahun < > Indudewi alias Bhre Lasem
Wijayarajasa alias Bhre Wengjer < > Dyah Wiyat alias Rajadewi Maharajasa
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/



01. Raden Wijaya bin (Pendiri Majapahit)
02. Rakeyan Jayadarma bin
03. Prabu Guru Darmasiksa bin
04. Darma Kusuma bin
05. Rakeyan Jayagiri bin
06. Lalang Bumi bin
07. Darmaraja bin
08. (puteri Kahuripan) binti
09. Dharmawangsa Teguh bin
10. Sri Makuta Wangsa Wardhana bin
11. Sri Isyana Tunggawijaya bin
12. Mpu Sindok bin
13. (putera Mpu Daksa) bin
14. Mpu Daksa bin
15. Rakai Watuhumalang bin
16. Pramodawardani binti
17. Samaratungga bin
18. Samaragwira bin
19. Rakai Panangkaran bin
20. Sanjaya bin
21. Brata Senawa bin
22. (Prabu Galuh II) bin
23. Wretikandayun bin
24. (cicit Suryawarman) bin
25. (cucu Suryawarman) bin
26. (puteri Suryawarman) binti
27. Suryawarman bin
28. Candrawarman bin
29. Indrawarman bin
30. Wisnuwarman bin
31. Purnawarman bin
32. Dharmayawarman bin
33. Dewi Minawati (suaminya Dewi Minawati, bernama Jayasingawarman, pendiri kerajaan Tarumanagara) binti
34. Sphatikarnawa Warmandewi binti
35. Dewawarman VII bin
36. Dewawarman VI bin
37. Mahisasura Mardini Warmandewi binti
38. Dewi Tirta Lengkara binti
39. Dewawarman III bin
40. Dewawarman II bin
41. Dewawarman I (menikah dengan puteri Pohaci Larasati binti Aki Tirem bin Ki Srengga bin Nyai Sariti Warawiri binti Sang Aki Bajulpakel bin Aki Dungkul bin Ki Pawang Sawer bin Datuk Pawang Marga bin Ki Bagang bin Datuk Waling bin Datuk Banda bin Nesan).

Berdasarkan penelitian sejarah, Pendiri kerajaan Salakanagara (Dewawarman I), yang merupakan leluhur Raja Majapahit, berasal dari Dinasti Pallawa (Pallava) di India…
Beliau datang ke Pulau Jawa, pada sekitar abad pertama masehi, dan memerintah kerajaan Salanagara bersama isterinya Pohaci Larasati, pada tahun (130M-168M)…
 

Sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Salakanagara

Pendiri Salakanagara, Dewawarman adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat…
Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang…
Adalah Aki Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua Dewawarman ketika puteri Sang Aki Luhur Mulya bernama Dewi Pwahaci Larasati diperisteri oleh Dewawarman. Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya…

Dinasti Pallawa :
Berdasarkan tulisan yang berjudul “Origins of the Pallava Dynasty“, Dinasti Pallawa, memiliki keterikatan historis dengan Bangsa Persia dan Dinasti Maurya…
The word Pallava meaning branch or twig in Sanskrit is delivered as Tondaiyar in Tamil language…
But scholars rebuff this view since it is a later usage of the term and consequently cannot be confirmed to have given rise to the family name Pallava. Some feel that the Pallavas are connected with primordial Pulindas, who were the same as the Kurumbas of Tondamandlam. Tondamandlam was a province under Maurya Emperor Ashoka in third century BCE and was later detained by the Satavahanas and thus Tondamandlam became a feudatory to the Satavahanas After collapse of Satavahanas in about 225 AD, the Pallavas of Tondamandlam became autonomous and prolonged to the Krishna River.
There have been several conjectures concerning the origin of the Pallavas. There are certain claims based on historical, anthropological, and linguistic proof signifying that the Pallavas were related to the Pahlavas of Iran. It is probable that a wave of Pahlava/Kambhoja tribes of Indo-Iranian descent migrated Southward and first settled in Krishna river valley of present day coastal Andhra Pradesh…
Some scholars think that the Pahlavas migrated from Persia to India and established the Pallava dynasty of Kanchi, whereas, some say that they were immigrants from north, or from Konkan, Tenugu and Anarta into Deccan. They came into south India through Kuntala or Vanvasa….

          ( Para Palawa kata yang berarti cabang atau ranting dalam bahasa Sansekerta ini disampaikan sebagai Tondaiyar di Tamil bahasa ...
Tetapi para ahli penolakan pandangan ini karena merupakan penggunaan istilah kemudian dan akibatnya tidak dapat dikonfirmasi melahirkan Palawa nama keluarga. Beberapa orang merasa bahwa Pallavas terhubung dengan Pulindas primordial, yang sama dengan Kurumbas dari Tondamandlam. Tondamandlam adalah provinsi di bawah Kaisar Asoka Maurya di abad ketiga SM dan kemudian ditahan oleh Satavahanas dan dengan demikian Tondamandlam menjadi bawahan ke Satavahanas Setelah runtuhnya Satavahanas sekitar 225 AD, Pallavas dari Tondamandlam menjadi otonom dan berkepanjangan ke Sungai Krishna.
Ada beberapa dugaan telah mengenai asal Pallavas. Ada klaim tertentu berdasarkan sejarah, bukti antropologi, dan linguistik menandakan bahwa Pallavas yang terkait dengan Pahlavas Iran. Ini adalah kemungkinan bahwa gelombang Pahlava / Kambhoja suku keturunan Indo-Iran bermigrasi ke selatan dan pertama menetap di lembah sungai Krishna hari ini pantai Andhra Pradesh ...
Beberapa ahli berpikir bahwa Pahlavas bermigrasi dari Persia ke India dan mendirikan dinasti Palawa dari Kanchi, sedangkan, beberapa mengatakan bahwa mereka adalah imigran dari utara, atau dari Konkan, Tenugu dan Anarta ke Deccan. Mereka datang ke India selatan melalui Kuntala atau Vanvasa ....
)
 

Source :

http://www.indianetzone.com/19/origi...va dynasty.htm


Dinasti Maurya dan Cyrus II “The Great” :
Salah seorang anggota keluarga Dinasti Maurya yang populer adalah Sundari Maurya of Magadha. Beliau terhitung sebagai salah seorang leluhur dari King George I of England…
Silsilah Sundari Maurya sampai kepada Cyrus II ”The Great” adalah…
Sundari Maurya of Magadha binti (Princess of Avanti) binti Abhisara IV of Avanti bin Abhisara III of Pancanada bin Abhisara II of Taxila bin Abhisara I of Taxila bin Rodogune Achaemenid of Persia binti Artaxerxes II of Persia bin Darius II of Persia bin Artaxerxes I of Persia bin Xerxes I “The Great” of Persia bin Atossa of Persia binti Cyrus II “The Great” of Persia…

Silsilah Sundari Maurya (Magadha) sampai kepada Abhisara II (Taxila)
http://fabpedigree.com/s039/f742968.htm
Silsilah Abhisara II (Taxila) sampai kepada Darius II
http://fabpedigree.com/s080/f943746.htm
Silsilah Darius II sampai kepada Atossa of Persia binti Cyrus II “The Great”
http://fabpedigree.com/s012/f559022.htm
Dinasti Maurya sangat indentik dengan keturunan Cyrus II “The Great” di India. Pertemuan kedua keluarga ini, dimulai jauh sebelum masanya Sundari Maurya (sekitar 200 SM). Interaksi antara kedua keluarga ini, diawali oleh pernikahan antara cucu Cyrus II “The Great” yang bernama Candravarnna of Persia binti Atossa of Persia bin Cyrus II “The Great”, dengan Maurya I of Taxila, pada sekitar tahun 500 SM…
http://fabpedigree.com/s076/f199897.htm

Cyrus II “The Great” dan Nabi Ibrahim :

 Dzulqarnain dalam Surah Al Kahfi adalah Raja Cyrus II The Great
Cyrus II “The Great” (590 SM-529 SM), adalah pendiri dinasti Achaemenid. Beliau berhasil mempersatukan dua suku besar bangsa Iran : Media dan Persia. Beberapa ahli sejarah berpendapat, bahwa Cyrus II “The Great” indentik dengan Zulqarnain (QS. Al Kahfi ayat 83-98)…
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Cyrus_the_Great_in_the_Qur’an
Melalui penyelusuran genealogy, diperoleh informasi, bahwa Cyrus II “The Great” memiliki hubungan keluarga dengan Nabi Ibrahim…

Nabi Ibrahim, berdasarkan catatan ahli genealogy, menurunkan bangsa Media (Madyan), melalui anaknya Midian (Madian) bin Nabi Ibrahim. Bangsa Media (Madyan) merupakan bangsanya Nabi Syu’aib, yang menjadi mertua Nabi Musa…(kitab kejadian 25 ayat 1-6)

Beberapa catatan Genealogy, yang menghubungkan, Cyrus II ”The Great” dengan Nabi Ibrahim….
Melalui Jalur Pouru Chishti
Silsilah Atossa of Pesia binti Cyrus II “The Great” sampai kepada Kuras
http://fabpedigree.com/s097/f472176.htm
Silsilah Kuras sampai kepada Pouru Chishti
http://fabpedigree.com/s026/f207564.htm
Silsilah Pouru Chishti sampai kepada Vaedesht
http://fabpedigree.com/s065/f284112.htm
Silsilah Vaedesht sampai kepada Midian bin Nabi Ibrahim
http://fabpedigree.com/s020/f862707.htm
Melalui Jalur Vishtaspa I (suami Pouru Chishti, di dalam catatan genealogy lainnya, suaminya bernama Jamaspa, yang merupakan adik dari Vishtaspa I)
Silsilah Atossa of Pesia binti Cyrus II “The Great” sampai kepada Kuras
http://fabpedigree.com/s097/f472176.htm
Silsilah Kuras sampai kepada Vishtaspa I (adiknya yang bernama Jamaspa)
http://fabpedigree.com/s026/f207564.htm
Silsilah Vishtaspa I (adiknya yang bernama Jamaspa) sampai kepada Kay Apiveh
http://fabpedigree.com/s064/f284112.htm
Silsilah Kay Apiveh sampai kepada Dora Sharoob bin Midian bin Nabi Ibrahim
http://fabpedigree.com/s036/f931343.htm

Nama Nabi Ibrahim (Abraham) di dalam naskah Persia Kuno….

“When the Persians will do such deeds, a man from among the Arabs will be born whose followers shall overthrow and dissolve the kingdom and religion of the Persians.
And the arrogant people (Persians) will be subjugated.
Instead of the temple of fire and the house of idols they will see the House of Abraham without any idols as their Qibla… “

   ( "Ketika Persia akan melakukan perbuatan seperti itu, seorang pria dari kalangan orang-orang Arab akan lahir yang pengikutnya akan meruntuhkannya dan membubarkan kerajaan dan agama Persia.
Dan orang-orang sombong (Persia) akan ditundukkan.
Alih-alih kuil api dan rumah berhala mereka akan melihat Gedung Abraham tanpa berhala sebagai kiblat mereka ... ")

Source : http://www.cyberistan.org/islamic/parsi1.html
.
Bangsa Persia sebagai keturunan Nabi Ibrahim…
Rasulullah Saw bersabda, “Apakah kalian pernah mendengar suatu kota yang terletak sebagiannya di darat dan sebagiannya di laut? Mereka (para sahabat) menjawab: Pernah wahai Rasulullah. Beliau Saw bersabda: Tidak terjadi hari kiamat, sehingga ia diserang oleh 70.000 orang dari Bani Ishaq…”
[HR. Muslim, Kitabul Fitan wa Asyratus Sa’ah]
Siapakah yang dimaksud dengan Bani Ishaq pada riwayat di atas ?
Bani Ishaq adalah keturunan Al Aish bin Ishaq bin Ibrahim as. Pendapat ini dipilih oleh Al Hafidz Ibnu Katsir [An Nihayah fil Fitan Wal Malahim]
Keturunan Aish ini, menyebar di wilayah Khurasan (Afghanistan, Pakistan, Kashmir, Iraq dan Iran).
Imam Nawawi dalam syarahnya tentang 70 ribu Bani Ishaq berpendapat bahwa, “Penduduk (Farisi) Persia adalah orang-orang yang dimaksud dengan keturunan Ishaq”.
Al-Mas’udi dalam kitabnya yang berjudul Muruj adz-Dzahab berpendapat, “Orang-orang yang mengerti tentang jalur-jalur nasab orang Arab dan para hukama menetapkan bahwa asal-usul orang Persia adalah dan keturunan Ishaq putra Nabi Ibrahim“

Senin, 16 Januari 2012

Cerita Sawerigading : Sebuah Ringkasan



Damai sejahtera...!!



       tulisan berikut ini merupakan referensi sejarah mengenai sosok sawerigading.
sebagai sosok tomanurung yang ada pada cerita sejarah sulawesi...khususnya bugis, makassar, mandar dll..
SELAMAT MENYIMAK.. semoga para pembaca dapat menangkap substansi dari cerita tersebut..........

       Cerita Sawerigading yang termuat dalam Sure’ I La Galigo[i], dimulai ketika para dewa dilangit
bermufakat untuk mengisi dunia ini dengan mengirim Batara Guru
anak patotoe di langit dan Nyilitomo anak guru ri Selleng di peretiwi
(dunia bawah) untuk menjadi penguasa di bumi. Dari perkawinan
keduanya lahirlah putra mereka yang bernama Batara Lattu’, yang kelak
menggantikan ayahnya penguasa di Luwu. Dari perkawinan Batara
Guru dengan beberapa pengiringnya dari langit serta pengiring We
Nyilitomo dari peretiwi lahirlah beberapa putra mereka yang kelak
menjadi penguasa di daerah-daerah Luwu sekaligus pembantuBatara
Lattu’.
Setelah Batara Lattu’ cukup dewasa, ia dikawinkan dengan We
Datu Sengeng, anak La Urumpassi bersama We Padauleng
ditompottikka. Sesudah itu Batara Guru bersama isteri kembali kelangit.
Dari perkawinan keduanya lahirlah sawerigading dan tenriabeng sebagai
anak kembar emas yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan .
Berdasarkan pesan Batara Guru, kedua anak kembar itu harus
dibesarkan terpisah agar kelak bila mereka menjadi dewasa tidak akan
saling jatuh cinta.
Namun demikian suratan menentukan yang lain, sebab dirantau
Sawerigading mendapat keterangan bahwa ia mempunyai seorang
saudara kembar wanita yang sangat cantik, We Tenriabeng namanya.
Sejak itu hatinya resah hinggah pada suatu waktu ia berhasil
melihatnya dan langsung jatuh cinta serta ingin mengawininya. Maksud
itu mendapat tentangan kedua orang tuanya bersama rakyat banyak,
karena kawin bersaudara merupakan pantangan yang jika dilanggar
akan terjadi bencana terhadap negeri, rakyat dan tumbuh-tumbuhan
serta seluruh negeri kebingungan.
Melalui suatu dialog yang panjang, berhasil juga We Tenriabeng
membujuk saudaranyauntuk berangkat ke negeri Cina memenuhi
jodohnya di sana, I We Cudai namanya. Wajah dan perwakannya sama
benar dengan We Tenriabeng. Pada waktu Sawerigading berangkat ke
Cina, We Tenriabeng sendiri naik kelangit dan kawin dengan
tunangannya di sana bernama Remmang ri Langi. Dengan mengatasi
hambatan demi hambatan, akhirnya berhasil juga Sawerigading
mengawini I We Cudai yang tunangannya, Settiaponga sudah lebih
dahulu dikalahkan, dalam suatu pertempuran di tangah laut dalam
perjalananmenuju ke Cina. Mereka hidup rukun damai dan memperoleh
tiga orang anak yaitu : I La Galigo , I Tenridia dan Tenribalobo. Dari
seorang selirnya  I We Cimpau , Sawerigading memperoleh seorang
anak bernama We Tenriwaru.Dalam pada itu La Galigo pun menjadi dewasa, merantau,
menyabung, kawin, berperang dan memperoleh anak. Pada suatu ketika
I We Cudai ingin berkunjung ke negeri suaminya, menjumpai mertua
yang belum pernah dilihatnya. Sawerigading bimbang mengingat akan
sumpahnya dahulu, ketika hendak bertolak ke Cina, bahwa seumur
hidupnya tidak akan lagi menginjakkan kaki lagi ditanah Luwu, tetapi
sayang akan isteri, anak dan cucu dibiarkan berlayar sendiri tanpa
ditemani, akhirnya iapun ikut serta. Setiba di Luwu, Patotoe
menetapkan akan menghimpun segenap keluarganya di Luwu. Dalam
pertemuan keluarga besar itulah ditetapkan bahwa keturunan dewadewa
yang ada di bumi harus segera kembali kelangit atau peretiwi
dengan masing-masing seorang wakil.
Tidak lama setelah para kaum keluarga pulang ke negerinya Tidak lama setelah para kaum keluarga pulang ke negerinya
masing-masing Sawerigading bersama anak, isteri dan cucunya pulang
ke Cina. Di tengah jalan tiba-tiba perahunya meluncur turun ke
peretiwi. Di sana ternyata disambut gembira penguasa untuk
menggantikan neneknya sebagai raja peretiwi.
Di peretiwi ia masih memperoleh seorang anak yang kemudian
kawin dengan anak We Tenriabeng di langit, yang selanjutnya dikirim ke
Luwu untuk menjadi raja di sana. Akhirnya tibalah saatnya pintu langit
ditutup sehingga penguasa yang ada di peretiwi tidak lagi leluasa pulang
pergi, dengan ketentuan sewaktu-waktu kelak akan dikirim utusan
untuk memperbarui darah mereka sebagai penguasa.
Beberapa Pandangan tentang Cerita Sawerigading
Dipandangdari berbagai sudut, beberapa ahli telah
mengemukakan pendapatnya tentang cerita Sawerigading. Fachruddin
Ambo Enre, dalam disertasinya berjudul Rintumpanna Welenrennge
(1993), mengemukakan tiga jenis pandangan tentang naskah
Sure’Galigo, yaitu sebagai naskah mitos dan legenda, sebagai naskah
sejarah dan sebagai karya sastra.
Pendapat yang menyatakan sebagai mitos dan legenda cukup
beralasan sebab dalam cerita tersebut terdapat ciri-ciri ceerita yang
berkaitan dengan mitos penciptaan oleh dewa di langit dengan mengirim
anaknya Batara Guru dan We Nyilitomo ke bumi. Batara Gurulah yang
menciptakan gunung, sungai, hutan dan danau.
Menyusuli kehadirannya di sana muncullah tanaman seperti :
ubi, ke;adi, pisang, tebu dan lainnya. Kekuatan supernatural yang
dimiliki para tokohnya, seperti naik ke langi, turun ke peretiwi, atau
menyeberang ke maja dunia roh, kemampuannya meredakan anginribut dan halilintar, kesanggupannya menghidupkan kembali orang mati
dalam perang, gambaran tentang berbagai macam upacara, ritus dan
aspek budaya lainnya merupakan ciri-ciri cerita mitos yang umum.
Pandangan yang menyatakan bahwa cerita Sawerigading sebagai
legenda didasarkan pada benda-benda alam yang dihubungkan dengan
tokoh Sawerigading, seperti Bulupoloe di dekat malili, dikatakan sebagai
bekas tertimpa pohon Welenreng yang rebah karena ditebang untuk
dijadikan perahu oleh Sawerigading. Contoh lain, misalnya Batu cadas
di daerah Cerekang banyak diambil untuk dijadikan batu asah, disebut
sebagai kulit bekas tebasan pohon Welenreng itu. Digunung Kandora,
daerah mangkedek, tanah Toraja terdapat batu yang dianggap
penjelmaan We Pinrakasi, isteri Sawerigading yang meninggal dalam
keadaan hamil yang dijemput oleh Sawerigading di dunia roh.Setiba kembali di bumi ia melahirkan seorang anak perempuan
yang diberi nama Jamallomo. Anak tersebut kemudian menjelma
menjadi batu. Gunung batu di daerah Bambapuang [ Enrekang ], yang
dari jauh nampak sebagai anjungan perahu, dianggap perahu
Sawerigading yang karam dan telah menjadi batu. Gong besar yang
terdapat di Selayar dianggap gongnya Sawerigading, yang selalu dibawa
berlayar dan dibunyikan setiap memasuki pelabuhan. Demikian pula
kepingin perahu yang terdapat di Bontote’ne dianggap perahu
Sawerigading.Pandangan yang menyatakan bahwa cerita Sawerigading
mempunyai nilai sejarah, yaitu adanya kronik di Bone, Soppeng yang
menyatakan bahwa raja pertama mereka adalah Tomanurung yang
bersumber dari keturunan Sawerigading. Demikian pula kaum
bangsawan di Sulawesi Selatan, termasuk Luwu, menganggap bahwa La
Galigo dan Sawerigading adalah nenek-moyang mereka. Dalam silsilah
raja-raj di Sulawesi Selatan [Lontara Pangoriseng], di puncak silsilah itu
terdapat tokoh-tokoh La Galigo, Sawerigadin, Batara Lattu’ dan Batara
Guru. Menurut Mills, yang menciptakan silsilah itu raja-raja itu sendiri
untuk memperoleh legitimasi magis-religius yang menurut dugaan
meniru model-model kronik Jawa. Sebenarnya mereka tidak menyebut
tokoh Sawerigading sebagai tokoh sejarah , tetapi mereka mengklaim
bahwa tokoh-tokoh itu benar-benar ada, walaupun sebagian besar
ceritanya adalah fiksi.Cerita Sawerigading dianggap sebagai karya sastra oleh beberapa
tokoh antara lain Raffles, Matthes, R.A. Kern, A. Zainal Abidin Farid,
cerita Sawerigading adalah sastra kuno yang dianggap suci oleh Bugis
tetapi bukan sejarah. Demikian pula Fachruddin menganggap Sure’
Galigo adalah sastra suci.Nilai-nilai Budaya dalam Cerita Sawerigading
Dalam cerita Sawerigading dapat diungkap beberapa nilai
budaya antara lain : nilai religius, sistem kepercayaan pra-Islam yang
menggambarkan dunia gaib dan konsep kejadian manusia. Dalam cerita
ini digambarkan bahwa dunia gaib adalah dunia dewa-dewa di langit, di
bumi [ mulatau ] yang keturunan dewa-dewa. Seiring dengan
perkembangan Islam dan agama lain di Luwu, maka nilai religius dari
cerita ini lambat laun akan mengalami kepunahan, karena tidak sesuai
lagi dengan perkembangan masyarakat.
Beberapa kepentingan cerita itu dalam kajian ilmu-ilmu sosialdapat diuraikan sebagai berikut :
a. Nilai sejarah dalam cerita Sawerigading dapat dilihat faktanya dengan
adanya silsilah raja-raja di Sulawesi Selatan yang menghubungkan
keturunan mereka dari Sawerigading. Namun demikian fakta sejarah
ini perlu mengalami telaah kritis dengan memilah-milah antara fakta
sejarah dengan cerita mitos yang telah diselipkan dalam penyusunan
silsilah tersebut.
b. Nilai mitos dan legenda sangat dominan dalam mewarnai cerita
Sawerigading. Terbukti dengan alur cerita, tokoh cerita tempat dan
peristiwa cerita, sesuai dengan ciri-ciri yang dikategorikan cerita
mitos dan legenda.
c. Walaupun cerita ini kurang bernilai sejarah dan lebih dominan
bernilai mitos dan legenda, tetapi cerita ini dapat membantu dalam
pengungkapan bukti-bukti yang bernilai arkeologis dalam merekonstruksi
sejarah kebudayaan Sulawesi Selatan.
d. Semboyan daerah Luwu sebagai bumi Sawerigading, artinya
masyarakat Luwu mengidentifikasikan jati diri mereka dengan
seorang tokoh mitologis agar dapat mempunyai implikasi positif.
Mungkin dapat di bandingkan dengan menyebut Irak sebagai bumi
Abunawas.

Catatan :

[i] Sureq Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan (sekarang bagian dari Republik Indonesia) yang ditulis di antara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno, ditulis dalam huruf Lontara kuno Bugis. [1] Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal-usul manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari. [1] [2]
Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim atau perusakan. [1] Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar. [3]
Daftar isi
 [tampilkan
[sunting] Latar belakang dan usaha pelestarian
Ada dugaan pula bahwa epik ini mungkin lebih tua dan ditulis sebelum epik Mahabharata dari India. Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.
La Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap memberikan gambaran kepada sejarawan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.
Versi bahasa Bugis asli Galigo sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang. [3] Sejauh ini Galigo hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya. Hanya sebagian saja dari Galigo yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan tidak ada versi lengkapnya dalam bahasa Inggris yang tersedia. [1] Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat yang tersimpan di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi pemilik lain.
Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah diadaptasi dalam pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson, sutradara asal Amerika Serikat, yang mulai dipertunjukkan secara internasional sejak tahun 2004.

[sunting] Isi hikayat La Galigo
Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'.
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.
[sunting] La Galigo di Sulawesi Tengah
Nama Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan bahwa kawsan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu Luwu'.
Sawerigading dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah danau iaitu Tasi' Buri' (Tasik Buri).
Berdekatan dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila, seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila kemudian meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu'. Sesampainya tentara Luwu', kakak Bunga Manila mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun juga, Bunga Manila masih menaruh dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi menjadi daratan.
Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.
Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan inovasi.
[sunting] La Galigo di Sulawesi Tenggara
Ratu Wolio pertama di Butung (Butuni atau Buton) di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.
Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi', artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu.
Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia Bonga).
[sunting] La Galigo di Gorontalo
Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu' dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkeris sementara Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu'. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.
[sunting] La Galigo di Malaysia dan Riau
Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga unusur Melayu dan Arab diserap sama.
Pada abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh 'Keraing Semerluki' dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo', dimana nama sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan beliau berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.
Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo'. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta' Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki, sebuah daerah di Wajo', menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma'dukelleng, juga ke Johor. La Ma'dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin bajak laut oleh Belanda.
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ketiga), Opu Daeng Manambung (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella' (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).
Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu'. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge' kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.
[sunting] La Galigo dalam seni pentas
La Galigo sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh sutradara Robert Wilson setelah diadaptasi oleh Rhoda Grauer. Pertunjukan ini telah dipertunjukkan sejak tahun 2004 di Asia, Eropa, Australia dan Amerika Serikat.
Dalam bagian-bagian dari cerita yang dikisahkan, para aktor tidak saling berbicara tapi mengekspresikan diri mereka melalui tari dan gerak tubuh. Bagian cerita dinarasi oleh seorang narator dalam versi bahasa Bugis aslinya. Pertunjukan sepanjang tiga jam ini disertai dengan penggunaan ekstensif efek cahaya untuk karakteristik pekerjaan Wilson dan disertai pula oleh musik oleh ansambel panggung. [2] Pertunjukan ini menggunakan musik tradisional Sulawesi, namun sebenarnya telah disusun dan diproduksi oleh komponis Jawa Rahayu Supanggah setelah riset yang intensif di Sulawesi Selatan. [3][4]
Untuk menciptakan ekspresi dramatis yang lebih baik, instrumen Jawa dan Bali lainnya ditambahkan ke dalam lima instrumen Sulawesi tradisional aslinya, dan instrumen lain yang baru juga dibuat, sehingga akhirnya terdapat 70 instrumen yang dimainkan oleh 12 musisi. [4] Para pelaku produksi pentas ini terdiri dari 53 pemusik dan penari yang semuanya datang secara ekslusif dari Indonesia dan sebagian besar dari Sulawesi, serta salah satu dari sedikit pendeta tradisional bissu (pendeta non gender) Bugis, yang tersisa dari komunitas non gender Bugis, Puang Matoa Saidi yang menceritakan sebagian dari cerita. [1][3]
[sunting] Pranala luar
[sunting] Lihat pula
[sunting] Rujukan
[sunting] Referensi
1.      ^ a b c d e Wayne Arnold. "Robert Wilson Illuminates Indonesian Creation Myth", The New York Times, 7 April 2004. Diakses pada 4 September 2008.
2.      ^ a b Helen Shaw. "Micromanaging Indonesia", The New York Sun, 15 Juli 2005. Diakses pada 19 Agustus 2008.
3.      ^ a b c d Edward Rothstein. "A Sacred Epic and Its Gods, All Struggling to Survive", The New York Times, 15 Juli 2005. Diakses pada 19 Agustus 2008.
4.      ^ a b Carla Bianpoen. "Supanggah sets the tone in 'I La Galigo'", The Jakarta Post, 4 April 2004. Diakses pada 26 September 2008.
l  b  s


Daftar cerita rakyat di Indonesia menurut provinsi (kategori)
Akun
Ruang nama
Varian
Halaman
Tindakan
Halaman Utama
Komunitas
Wikipedia
Cetak/ekspor
Peralatan
Bahasa lain