Selasa, 24 April 2012


Karaeng Matoaya
Nama pribadi adalah, I-Mallingkaang. Nama kerajaan-Nya (Paddaenganna) adalah Daeng Mannyonri. Nama (Pakkaraenganna) sebelum Ia menjadi penguasa adalah Karaeng Katangka. Disebut juga Sultan Abdullah Awawul Islam. Nama-Nya setelah meninggal disebut Tu-Mammenanga-ri-Agamana ('Dia yang meninggal dalam agamanya "). Di gelar juga Karaeng Kanjilo, Karaeng Segeri, Karaeng Barombong, Karaeng Data dan Karaeng Allu. Namun diantara nama-Nya itu Beliau lebih populer dengan nama Karaeng Matoaya (Raja Tua) (1570-1636). Raja Tallo sekaligus merupakan Perdana Menteri Gowa.

Karaeng Matoaya adalah anak dari Raja Tallo ke-IV, I Mappatakangtana Daeng Paduduq (Tumenanga ri Makkayoang) dari istrinya yang bernama, semoga saya tidak terkutuk adalah I Sapi. Naik tahta mengantikan Raja Tallo ke VI yang juga merupakan Raja Gowa ke- XIII yang bernama I-Tepukaraeng Daeng Parabung Karaeng Bontolangkasa “Tunipasulu” Tu Menanga ri Butung.

Digelar Sultan Abdullah Awawul Islam karena Dialah orang pertama yang mengucapkan kalimat syahadat di tanah Sulawesi. Ia masuk Islam pada malam jumat tanggal 9 Jumadil Awal 1014 Hijriah (22 September 1605). Yang mengislamkannya ialah Khatib Tunggal Abdul Makmur yang berasal dari kota tengah (Sumatera Barat) yang juga di gelar Datok ri Bandang.

Karaeng Matoaya dikenal sebagai seorang Muslim yang taat dan berpengetahuan, sebagaimana digambarkan dalam kutipan berikut : Dikatakan bahwa Raja ini adalah seorang yang sangat alim berpengetahuan (panrita), seorang pemberani, seorang yang mempunyai wawasan yang sangat mendalam dan bijaksana; seorang yang terampil dan mampu menjadi penyelenggara (penentu, pengambil kebijakan); tangkas dalam pekerjaan baik pekerjaan laki-laki maupun kerajinan perempuan; ia adalah seorang yang jujur (tegak), baik hati, dan ramah. Dia mampu membaca dan memahami apa yang ia baca; Dia mahir membaca dan menulis tulisan Arab, banyak kitab yang Dia baca, dari waktu Dia memeluk agama Islam sampai kematiannya ia tidak pernah meninggalkan sholat kecuali sekali yakni ketika ia menderita sakit (dengan kaki yang bengkak) tatkala orang Inggris mengobatinya dengan memberinya minuman keras, 18 hari lamanya ia tidak shalat. Dia senantiasa mengerjakan sembahyang sunat, seperti shalat sunat Rawatib, Witir, Adduha, Tasbih dan Tahajjud. Berkata I-Loqmoq ri Paotere [salah satu jandanya] :"Paling sedikit sembahyang malamnya dua rakaat dan paling banyak sepuluh rakaat setiap malam”. Dia melakukan sembahyang sunat tasbih pada setiap malam Jumat, Dan setiap malam pada bulan Ramadhan. Dia senantiasa membayar pajak (zakat) emas, zakat kerbau (binatang) juga zakat beras pada setiap tahunnya. Dia sering memberi izin untuk bekerja, dan juga senantiasa berdoa. Berkata Karaenga ri Ujung Pandang :"Dia banyak belajar Morfologi arab dari Khatib Intang di Koja Manawara'.

Karaeng inilah yang menjadikan (ampasallangi) orang Makassar di seluruh tanah Makassar menganut agama Islam. Juga orang Bugis di seluruh tanah Bugis, kecuali Luwu. Dikatakan bahwa hanya dua tahun setelah Karaeng Matoaya mengucapkan Syahadat, maka seluruh rakyat Gowa dan Tallo pun sudah selesai di Islamkan, yang ditandai dengan diadakannya sembahyang Jumat pertama di Tallo pada tanggal 9 November 1607 (19 Rajab 1016). Dan dalam jangka waktu 4 tahun, seluruh tanah di Sulawesi Selatan pun telah di islamkan.

Meskipun Karaeng Matoaya adalah orang kedua dibawah Raja Gowa. Namun Dia adalah merupakan pemimpin utama kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) yang mengendalikan seluruh kebijakan didalamnya, terutama pada tahun-tahun awal ketika Raja Gowa, yang juga keponakannya itu masih sangat muda (masih belia).

Karaeng Matoaya tercatat menikah sebanyak dua (2) kali. Satu istrinya bernama Karaeng Manaungi. Satu lagi istrinya bernama Karaeng ri Naung. Dari hasil perkawinannya tersebut dikaruniai enam (6) orang anak ; 1) Karaeng Patinga Tampatsina. 2) I-Manginyarang Karaeng Kanjilo Daeng Makiyo Sultan Abdul Jafar Muzaffar. 3) I-Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingaloang [Tumenanga ri Bontobiraeng]. 4) La Mallawakkang Daeng Sisila Karaeng Popo Abdul Kadir. 5) Tumataya ri Bantang Daeng Mangemba. 6) Daeng Mangeppe.

Setelah Karaeng Matoaya wafat, Dia digantikan oleh anaknya yang bernama I-Manginyarang Karaeng Kanjilo Daeng Makkiyo Sultan Abdul Jafar Muzaffar sebagai Raja Tallo VIII, dari istrinya yang bernama Karaeng ri Naung.**



Macan Lambaraqna Gowa : I Mappatakangtana Daeng Paduduq Tumenanga ri Makkayoang
Macan Lambaraqna Gowa (Harimau Liar dari Goa). Adalah sebuah gelar, sama dengan gelar-gelar lainnya seperti Macan Keboka ri Tallo, Macan Leqlenga ri Katangka, Macan Ejayya ri Sanrobone, Macan Beru Bakkaka ri Luwu.

Adalah, nama pribadi-Nya I Mappatakangtana. Nama kerajaan-Nya [Paddaenganna] adalah Daeng Paduduq (Tumenanga ri Makkayoang) yang digelar sebagai Macan Lambaraqna Gowa. Beliau adalah Somba [Raja Tallo IV, tak lain adalah Ayah dari I Mallingkaang Daeng Mannyonri Karaeng Katangka Karaeng Matowaya Sultan Abdu'llah Awwal al-Islam [Tu-Mammenanga-ri-Agamana]. Ayahnya adalah Karaeng Tunipasuru (Raja Tallo III), Nama pribadi-Nya, semoga saya tidak terkutuk, semoga saya tidak hancur, adalah I Mangayoang Berang. Nama Pakkaraenganna sebelum dia menjadi penguasa adalah Karaeng Pasi. Ibundanya adalah Tumamalianga ri Tallo, nama pribadi-Nya, semoga saya tidak terkutuk, semoga saya tidak hancur adalah I Passile'ba, putri Karaeng Loe ri Maros.

Tumenanga ri Makkayoang, dikatakan bahwa selain menjabat sebagai Somba [Raja] Tallo, Dia juga mendampingi Somba [Raja] Gowa menjalankan pemerintahannya, yakni sebagai Mangkubumi [Tumabbicara Butta Gowa]. Dialah yang mendampingi Somba Gowa ke-X [Karaeng Tunipallangga Ulaweng] dalam usahanya untuk melanjutkan pembangunan dan perluasan wilayah kekuasaan Gowa,hingga masa pemerintahan Somba [Raja] Gowa ke-12 [I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa.

Dialah yang membujuk hingga akhirnya berhasil membawa pulang Karaeng Tunipallangga Ulaweng dari Papolong ke Gowa ketika sakit yang di deritanya bertambah parah sewaktu keduanya memimpin peperangan melawan Bone. Dia pula yang mewakili Gowa bersama I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa [putera mahkota pada saat itu] dalam perundingan [perjanjian perbatasan] yang di sebut Ulukanaya ri Caleppa [Kesepakatan di Caleppa], antara Gowa dan Bone.

Setelah Tumenanga ri Makkayoang wafat, maka yang menjadi Somba [Raja] Tallo adalah I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa merangkap sebagai Somba [Raja] Gowa.** Wassalam, Semoga manfaat...

Karaeng Patanna Langkana adalah anak sulung dari tiga bersaudara dari Karaeng Loe ri Maros. Naik tahta mengantikan ayahandanya sebagai penguasa [karaeng] Maros IV (1538-1572 ).

Tiga bersaudara tersebut adalah, pertama Karaeng Patanna Langkana. Nama pribadi-Nya, semoga saya tidak terkutuk adalah, I Mappasomba. Nama kerajaan-Nya [Paddaenganna] adalah Daeng Nguraga. Yang kedua adalah Karaeng Barasa. Berikutnya yang ketiga adalah Tumamalianga ri Tallo. Nama pribadi-Nya, semoga saya tidak terkutuk, semoga saya tidak hancur adalah I Passileqba Tumamalianga ri Talloq. Dia menikah dengan Tunipasuruq yang berkuasa di Tallo, Nama pribadi-Nya, semoga saya tidak terkutuk, semoga saya tidak hancur, adalah Mangayoang Berang. Nama Pakkaraenganna sebelum dia menjadi penguasa adalah Karaeng Pasi. Tumamalianga ri Tallo inilah yang melahirkan Tumenanga ri Tallo, macang lambaraqna Gowa (harimau liar dari Gowa). Nama pribadi-Nya, semoga saya tidak terkutuk, I Mappatakangtana Nama kerajaan-Nya [Paddaenganna] adalah Daeng Paduduq. Setelah Karaeng Loe ri Maros meninggal, maka Karaeng Patanna Langkana menjadi penguasa di Maros. Dia disebut “Patanna Langkana” karena dia membangun sebuah istana dengan dua belas bagian pada pilar.

Karaeng Patanna Langkana berperang dengan Gowa, membantu Tallo [pada masa Karaeng Tumapa’risi Kallonna]. Pada waktu Tunipalangga Ulaweng menjadi Somba di Gowa. Nama pribadi-Nya, I Moriwogau. Nama kerajaan-Nya [Paddaenganna] adalah Daeng Bonto. Nama Pakkaraenganna sebelum ia menjadi penguasa adalah Karaeng Lakiung. Patanna Langkana membantu Somba Gowa menaklukkan Lengkese dan rakyat Polombangkeng. Ialah [Tunipalangga Ulaweng] yang pertama berperang melawan orang Bugis di Bampangang. Mengejar Suppa dan Lamuru sampai di Walanaya. Mereka menaklukkan penguasa wanita (datu bainea) bernama I Daengku dan pengikut-nya. Mereka menaklukkan Cenrana, Salomekko, Cina, Kacu, Patuku, Kalubimbing, Bulo-Bulo, Kajang, dan Lamatti. [Patanna Langkana] membantu Somba Gowa menaklukkan Samanggi, Cenrana, dan Bengo dan membuatnya menjadi pengikut Gowa (Palili Gowa). Dari Saumata dan Camba ganti rugi perang [bea perang] diambil, sebanyak lima Kati dan lima tahil emas. Karaeng Patanna Langkana ikut [menjadi pengikut Gowa] setelah [Tallo] ditaklukkan oleh Gowa. Itu pulalah yang menjadikan Tallo dan Gowa menjadi satu (Rua Karaeng na Se’re Ata).

Karaeng Patanna Langkana memiliki anak, Tunikakasang. Setelah meninggal Karaeng Patanna Langkana, kemudian disebut Tumenanga ri Buluqduaya. Selanjutnya sebagai pewaris takhta adalah Tunikakasang, sebagai penguasa [karaeng] Maros V. Nama pribadi-Nya, semoga saya tidak terkutuk, I Yunyi, Nama kerajaan-Nya [Paddaenganna] adalah Daeng Mangemba.


Karaeng Matoaya
 
Nama pribadi adalah, I-Mallingkaang. Nama kerajaan-Nya (Paddaenganna) adalah Daeng Mannyonri. Nama (Pakkaraenganna) sebelum Ia menjadi penguasa adalah Karaeng Katangka. Disebut juga Sultan Abdullah Awawul Islam. Nama-Nya setelah meninggal disebut Tu-Mammenanga-ri-Agamana ('Dia yang meninggal dalam agamanya "). Di gelar juga Karaeng Kanjilo, Karaeng Segeri, Karaeng Barombong, Karaeng Data dan Karaeng Allu. Namun diantara nama-Nya itu Beliau lebih populer dengan nama Karaeng Matoaya (Raja Tua) (1570-1636). Raja Tallo sekaligus merupakan Perdana Menteri Gowa.

Karaeng Matoaya adalah anak dari Raja Tallo ke-IV, I Mappatakangtana Daeng Paduduq (Tumenanga ri Makkayoang) dari istrinya yang bernama, semoga saya tidak terkutuk adalah I Sapi. Naik tahta mengantikan Raja Tallo ke VI yang juga merupakan Raja Gowa ke- XIII yang bernama I-Tepukaraeng Daeng Parabung Karaeng Bontolangkasa “Tunipasulu” Tu Menanga ri Butung.

Digelar Sultan Abdullah Awawul Islam karena Dialah orang pertama yang mengucapkan kalimat syahadat di tanah Sulawesi. Ia masuk Islam pada malam jumat tanggal 9 Jumadil Awal 1014 Hijriah (22 September 1605). Yang mengislamkannya ialah Khatib Tunggal Abdul Makmur yang berasal dari kota tengah (Sumatera Barat) yang juga di gelar Datok ri Bandang.

Karaeng Matoaya dikenal sebagai seorang Muslim yang taat dan berpengetahuan, sebagaimana digambarkan dalam kutipan berikut : Dikatakan bahwa Raja ini adalah seorang yang sangat alim berpengetahuan (panrita), seorang pemberani, seorang yang mempunyai wawasan yang sangat mendalam dan bijaksana; seorang yang terampil dan mampu menjadi penyelenggara (penentu, pengambil kebijakan); tangkas dalam pekerjaan baik pekerjaan laki-laki maupun kerajinan perempuan; ia adalah seorang yang jujur (tegak), baik hati, dan ramah. Dia mampu membaca dan memahami apa yang ia baca; Dia mahir membaca dan menulis tulisan Arab, banyak kitab yang Dia baca, dari waktu Dia memeluk agama Islam sampai kematiannya ia tidak pernah meninggalkan sholat kecuali sekali yakni ketika ia menderita sakit (dengan kaki yang bengkak) tatkala orang Inggris mengobatinya dengan memberinya minuman keras, 18 hari lamanya ia tidak shalat. Dia senantiasa mengerjakan sembahyang sunat, seperti shalat sunat Rawatib, Witir, Adduha, Tasbih dan Tahajjud. Berkata I-Loqmoq ri Paotere [salah satu jandanya] :"Paling sedikit sembahyang malamnya dua rakaat dan paling banyak sepuluh rakaat setiap malam”. Dia melakukan sembahyang sunat tasbih pada setiap malam Jumat, Dan setiap malam pada bulan Ramadhan. Dia senantiasa membayar pajak (zakat) emas, zakat kerbau (binatang) juga zakat beras pada setiap tahunnya. Dia sering memberi izin untuk bekerja, dan juga senantiasa berdoa. Berkata Karaenga ri Ujung Pandang :"Dia banyak belajar Morfologi arab dari Khatib Intang di Koja Manawara'.

Karaeng inilah yang menjadikan (ampasallangi) orang Makassar di seluruh tanah Makassar menganut agama Islam. Juga orang Bugis di seluruh tanah Bugis, kecuali Luwu. Dikatakan bahwa hanya dua tahun setelah Karaeng Matoaya mengucapkan Syahadat, maka seluruh rakyat Gowa dan Tallo pun sudah selesai di Islamkan, yang ditandai dengan diadakannya sembahyang Jumat pertama di Tallo pada tanggal 9 November 1607 (19 Rajab 1016). Dan dalam jangka waktu 4 tahun, seluruh tanah di Sulawesi Selatan pun telah di islamkan.

Meskipun Karaeng Matoaya adalah orang kedua dibawah Raja Gowa. Namun Dia adalah merupakan pemimpin utama kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) yang mengendalikan seluruh kebijakan didalamnya, terutama pada tahun-tahun awal ketika Raja Gowa, yang juga keponakannya itu masih sangat muda (masih belia).

Karaeng Matoaya tercatat menikah sebanyak dua (2) kali. Satu istrinya bernama Karaeng Manaungi. Satu lagi istrinya bernama Karaeng ri Naung. Dari hasil perkawinannya tersebut dikaruniai enam (6) orang anak ; 1) Karaeng Patinga Tampatsina. 2) I-Manginyarang Karaeng Kanjilo Daeng Makiyo Sultan Abdul Jafar Muzaffar. 3) I-Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingaloang [Tumenanga ri Bontobiraeng]. 4) La Mallawakkang Daeng Sisila Karaeng Popo Abdul Kadir. 5) Tumataya ri Bantang Daeng Mangemba. 6) Daeng Mangeppe.

Setelah Karaeng Matoaya wafat, Dia digantikan oleh anaknya yang bernama I-Manginyarang Karaeng Kanjilo Daeng Makkiyo Sultan Abdul Jafar Muzaffar sebagai Raja Tallo VIII, dari istrinya yang bernama Karaeng ri Naung.**



Macan Lambaraqna Gowa : I Mappatakangtana Daeng Paduduq Tumenanga ri Makkayoang
Macan Lambaraqna Gowa (Harimau Liar dari Goa). Adalah sebuah gelar, sama dengan gelar-gelar lainnya seperti Macan Keboka ri Tallo, Macan Leqlenga ri Katangka, Macan Ejayya ri Sanrobone, Macan Beru Bakkaka ri Luwu.

Adalah, nama pribadi-Nya I Mappatakangtana. Nama kerajaan-Nya [Paddaenganna] adalah Daeng Paduduq (Tumenanga ri Makkayoang) yang digelar sebagai Macan Lambaraqna Gowa. Beliau adalah Somba [Raja Tallo IV, tak lain adalah Ayah dari I Mallingkaang Daeng Mannyonri Karaeng Katangka Karaeng Matowaya Sultan Abdu'llah Awwal al-Islam [Tu-Mammenanga-ri-Agamana]. Ayahnya adalah Karaeng Tunipasuru (Raja Tallo III), Nama pribadi-Nya, semoga saya tidak terkutuk, semoga saya tidak hancur, adalah I Mangayoang Berang. Nama Pakkaraenganna sebelum dia menjadi penguasa adalah Karaeng Pasi. Ibundanya adalah Tumamalianga ri Tallo, nama pribadi-Nya, semoga saya tidak terkutuk, semoga saya tidak hancur adalah I Passile'ba, putri Karaeng Loe ri Maros.

Tumenanga ri Makkayoang, dikatakan bahwa selain menjabat sebagai Somba [Raja] Tallo, Dia juga mendampingi Somba [Raja] Gowa menjalankan pemerintahannya, yakni sebagai Mangkubumi [Tumabbicara Butta Gowa]. Dialah yang mendampingi Somba Gowa ke-X [Karaeng Tunipallangga Ulaweng] dalam usahanya untuk melanjutkan pembangunan dan perluasan wilayah kekuasaan Gowa,hingga masa pemerintahan Somba [Raja] Gowa ke-12 [I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa.

Dialah yang membujuk hingga akhirnya berhasil membawa pulang Karaeng Tunipallangga Ulaweng dari Papolong ke Gowa ketika sakit yang di deritanya bertambah parah sewaktu keduanya memimpin peperangan melawan Bone. Dia pula yang mewakili Gowa bersama I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa [putera mahkota pada saat itu] dalam perundingan [perjanjian perbatasan] yang di sebut Ulukanaya ri Caleppa [Kesepakatan di Caleppa], antara Gowa dan Bone.

Setelah Tumenanga ri Makkayoang wafat, maka yang menjadi Somba [Raja] Tallo adalah I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa merangkap sebagai Somba [Raja] Gowa.** Wassalam, Semoga manfaat...

Karaeng Patanna Langkana adalah anak sulung dari tiga bersaudara dari Karaeng Loe ri Maros. Naik tahta mengantikan ayahandanya sebagai penguasa [karaeng] Maros IV (1538-1572 ).

Tiga bersaudara tersebut adalah, pertama Karaeng Patanna Langkana. Nama pribadi-Nya, semoga saya tidak terkutuk adalah, I Mappasomba. Nama kerajaan-Nya [Paddaenganna] adalah Daeng Nguraga. Yang kedua adalah Karaeng Barasa. Berikutnya yang ketiga adalah Tumamalianga ri Tallo. Nama pribadi-Nya, semoga saya tidak terkutuk, semoga saya tidak hancur adalah I Passileqba Tumamalianga ri Talloq. Dia menikah dengan Tunipasuruq yang berkuasa di Tallo, Nama pribadi-Nya, semoga saya tidak terkutuk, semoga saya tidak hancur, adalah Mangayoang Berang. Nama Pakkaraenganna sebelum dia menjadi penguasa adalah Karaeng Pasi. Tumamalianga ri Tallo inilah yang melahirkan Tumenanga ri Tallo, macang lambaraqna Gowa (harimau liar dari Gowa). Nama pribadi-Nya, semoga saya tidak terkutuk, I Mappatakangtana Nama kerajaan-Nya [Paddaenganna] adalah Daeng Paduduq. Setelah Karaeng Loe ri Maros meninggal, maka Karaeng Patanna Langkana menjadi penguasa di Maros. Dia disebut “Patanna Langkana” karena dia membangun sebuah istana dengan dua belas bagian pada pilar.

Karaeng Patanna Langkana berperang dengan Gowa, membantu Tallo [pada masa Karaeng Tumapa’risi Kallonna]. Pada waktu Tunipalangga Ulaweng menjadi Somba di Gowa. Nama pribadi-Nya, I Moriwogau. Nama kerajaan-Nya [Paddaenganna] adalah Daeng Bonto. Nama Pakkaraenganna sebelum ia menjadi penguasa adalah Karaeng Lakiung. Patanna Langkana membantu Somba Gowa menaklukkan Lengkese dan rakyat Polombangkeng. Ialah [Tunipalangga Ulaweng] yang pertama berperang melawan orang Bugis di Bampangang. Mengejar Suppa dan Lamuru sampai di Walanaya. Mereka menaklukkan penguasa wanita (datu bainea) bernama I Daengku dan pengikut-nya. Mereka menaklukkan Cenrana, Salomekko, Cina, Kacu, Patuku, Kalubimbing, Bulo-Bulo, Kajang, dan Lamatti. [Patanna Langkana] membantu Somba Gowa menaklukkan Samanggi, Cenrana, dan Bengo dan membuatnya menjadi pengikut Gowa (Palili Gowa). Dari Saumata dan Camba ganti rugi perang [bea perang] diambil, sebanyak lima Kati dan lima tahil emas. Karaeng Patanna Langkana ikut [menjadi pengikut Gowa] setelah [Tallo] ditaklukkan oleh Gowa. Itu pulalah yang menjadikan Tallo dan Gowa menjadi satu (Rua Karaeng na Se’re Ata).

Karaeng Patanna Langkana memiliki anak, Tunikakasang. Setelah meninggal Karaeng Patanna Langkana, kemudian disebut Tumenanga ri Buluqduaya. Selanjutnya sebagai pewaris takhta adalah Tunikakasang, sebagai penguasa [karaeng] Maros V. Nama pribadi-Nya, semoga saya tidak terkutuk, I Yunyi, Nama kerajaan-Nya [Paddaenganna] adalah Daeng Mangemba.