Minggu, 26 Februari 2012


Menelisik Jejak-jejak Leluhur di Sulawesi
(Syamsoul daeng mangngerang)
Damai sejahtera Nusantara, Segala puji tertuju hanya kepadanya tuhan yang maha mengetahui seluruh rahasia langit dan bumi raja alam semesta, Tuhan yang Maha Esa. Dialah yang membimbing seluruh makhluk-makhluk Nya untuk dapat berkreasi dan berkarya dimuka bumi ini, khususnya kepada manusia yang diberikan tanggung jawab untuk melestarikan jagad raya ini sebagai tempat bernaung yang begitu luas dan mengandung misteri-misteri yang membingungkan bagi manusia itu sendiri, tiadalah manusia dapat mengetahui rahasia alam semesta beserta apa-apa yang terkandung didalamnya jika bukan dari kasih sayang Nya. Hanya orang-orang yang percaya serta yang dikasihinya yang akan mendapatkan kasih-sayang tersebut. Oleh karenanya artikle berikut dibawah ini akan sediki menelisik jejak-jejak orang-orang terdahulu yang menjadi leluhur bangsa nusantara(melayu) khususya sejarah-sejarah yang ada di sulawesi. Guna dijadikan sebagai bekal didalam memperjuangkan nilai-nilai luhur bangsa untuk menuju kejayaan nusantara.
Ada tertuang didalam naskah kitab suci yang berbunyi sebagai berikut .
Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman. (QS: 2/248). 
Catatan :
Tabut merupakan bekas-bekas peninggalan sejarah
Tabut versi Al Qur'an
Tabut  
.... Nach singkat saja silahkan disimak sendiri..semoga para pembaca dapat mengerti ataupun menangkap nilai-nilai yang ada didalamnya....
Awal mula kerajaan di sulawesi 
       Kerajaan luwu adalah kerajaan bugis tertua yg ada di sulawesi (bahkan diyakini sebagai kerajaan tertua di Indonesia bagian timur) didirikan sejak abad ke-VII (pada masa ini hanya ada satu kerajaan yang berdiri di daratan Sulawesi; yaitu, kedatuan atau kerajaan Luwu. Pada saat itu Luwu adalah milik semua orang Bugis, Makassar, Toraja, Mandar, Poso dan Kolaka. Namun pada pertengahan abad ke-X sebagian masyarakat Luwu akhirnya memilih bermigrasi dan berpindah ke jazirah selatan sulawesi dan mendirikan kerajaan-kerajaan sendiri; seperti kerajaan Wajo, Soppeng, Bone, dan Gowa Tallo). Pada abad ke-XIV sampai abad XV, kerajaan Luwu mencapai masa kejayaannya.

Jika ditarik kebelakang, nama kerajaan luwu sudah lama dikenal dalam naskah bugis kuno I La galigo (karya sastra terpanjang dan tertua di dunia). Naskah ini memang aslinya berasal dari kerajaan luwu yang menceritakan tokoh utamanya; yaitu, Sawerigading. Sawerigading merupakan sosok lelaki perkasa keturunan dewa yang mempunyai kesaktian yang luar biasa dan sekaligus merupakan putra mahkota dari Raja, Pajung/Datu Luwu II Batara Lattu dan cucu dari pendiri kerajaan Luwu yaitu Batara Guru. Selain kerajaan Luwu, ada juga dua kerajaan pertama yang diceritakan di dalam naskah I La Galigo; yaitu, kerajaan Tompotikka dan kerajaan Wewang nriwuk, namun keberadaan kedua kerajaan ini masih misterius.
Pada bagian awal kisah dalam naskah I La Galigo yang lazim disebut mula tau, dikisahkan tentang awal mula peradaban masyarakat bugis. I La Galigo dalam kisahnya membagi bumi menjadi tiga bagian, bumi bagian atas, tengah, dan bawah. Kehidupan masyarakat Bugis dimulai di suatu daerah bumi bagian tengah yang bernama ware' ( wareq atau luwu). Batara Guru dianggap sebagai leluhur orang bugis yang berasal dari dunia tengah yang menikah dengan seorang wanita yang berasal dari dunia bawah yang bernama We Nyili’ Timo. Keturunan dari keduannya kemudian berturut-turut menjadi lakon dalam kisah I La Galigo selanjutnya.

Tempat yang bernama Luwu memang sentral disebut dalam satra I La Galigo. Luwu merupakan sebuah tempat di bagian utara Teluk Bone yang berpusat di Ware' atau Wareq (sekarang Palopo). Sehubungan dengan kisah yang diangkat dalam sastra I La Galigo, para peneliti menyimpulkan bahwa Luwu merupakan pusat dimana awal mula peradaban orang-orang Bugis (Jika anda melacak silsilah keturunan orang bugis, maka anda akan menemuinya di Luwu. Anda akan sampai pada Sawerigading, Batara Lattu dan Batara Guru dan berakhir pada pasangan Patotoe dan Palinge).
Situasi Politik Di Akhir Abad ke 15
Pada awal abad ke 15, Luwu’ menguasai Sungai Cenrana yang menghubungi Tasik Besar. Penempatan Luwu’ pula terletak di muara sungai Cenrana, manakala di hulu sungai pula terdapat beberapa kerajaan kecil. Luwu’ cuba mengekalkan pengaruhnya di bahagian barat, di jalan perhubungan antara Selat Makassar dan Sungai Cenrana melalui Tasik Besar, untuk mengawal perdagangan sumber-sumber asli di sebelah barat, mineral dari pegunungan Toraja dan sumber pertanian sepanjang Sungai Welennae. Walau bagaimanapun, Sidenreng, terletak di bahagian barat Tasik Besar telah memilih untuk berlindung di bawah Soppeng. Pada masa yang sama, Sawitto’, Alitta, Suppa’, Bacukiki’ dan Rappang, juga terletak di sebelah barat telah membentuk satu konfederasi dinamakan ‘ Aja’tappareng ‘ (tanah disebelah barat tasik) sekaligus menyebabkan Luwu hilang pengaruh di atas kawasan ini.
Malahan, sesetengah penempatan-penempatan Bugis mula enggan berada dibawah pemerintahan Luwu’. Di hulu Sungai Cenrana pula, kerajaan Wajo’ sedang membangun dan mula menyebarkan pengaruhnya untuk mengawal kawasan sekelilingnya. Manakala pemerintah-pemerintah di kawasan sekeliling Wajo’ pula di gelar ‘Arung Matoa’ bermaksud Ketua Pemerintah. Sekitar 1490, salah seorang dari pemerintah ini membuat perjanjian dengan Wajo’, dan sekaligus meletakkan Luwu’ dibawah pengaruh Wajo’. Pada tahun 1498 pula, penduduk Wajo’ melantik Arung Matoa Puang ri Ma’galatung, seorang pemerintah yang disegani oleh orang Bugis, dan berjaya menjadikan Wajo’ sebagai salah satu kerajaan utama Bugis.
Di sebelah selatan pula, Bone, di bawah pemerintahan Raja Kerrampelua, sedang meluaskan sempadannya di kawasan pertanian sekaligus membantu ekonomi Bone, menambah kuasa buruh dan kuasa tentera. Penempatan Bugis yang disebut di dalam La Galigo kini terletak di bawah pengaruh kerajaan-kerajaan yang membangun. Soppeng pula terperangkap di antara Sidenreng, Wajo’ dan Bone manakala penempatan di tanah tinggi cuba keluar dari pengaruh Luwu’ dan pada masa yang sama ingin mengelakkan pengaruh kerajaan-kerajaan yang sedang membangun.
Kejatuhan Luwu
Tempoh antara 1500 dan 1530 menyaksikan kerajaan Luwu’ mula merosot. Ketika itu, Luwu’ diperintah oleh Dewaraja, seorang pahlawan yang hebat. Didalam pertemuan diantara Dewaraja dan Arung Matoa Puang ri Ma’galatung pada tahun 1508, Dewaraja bersetuju untuk menyerahkan kawasan-kawasan di sepanjang Sungai Cenrana kepada Wajo’ sebagai pertukaran Wajo’ hendaklah membantu Luwu’ menguasai Sidenreng dimana Sidenreng berjaya dikuasai oleh Luwuk dan Sidenrang terpaksa menyerahkan kepada Wajo’ kawasan timur laut dan utara Tasik Besar.

Pada tahun 1509, Luwu’ menyerang Bone untuk menyekat kuasa Bone tetapi ketika itu, Bone sudah pun menjadi sebuah kerajaan yang kuat dan tentera Luwu mengalami kekalahan. Malahan Dewaraja, walaupun berjaya melarikan diri, hampir dibunuh jika tidak kerana amaran pemerintah Bone kepada tenteranya untuk tidak ‘menyentuh’ ketua musuh Bone. Walaubagaimanapun, Payung Merah milik Luwu’ yang menjadi simbol ketuanan tertinggi berjaya dimiliki Bone sekaligus mengakhiri ketuanan Luwu’ di negeri-negeri Bugis. Walaubagaimanapun, ketuanan Luwu’ masih disanjung tinggi dan dihormati oleh kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan. Bila penggantinya Dewaraja mangkat, Wajo’ menyerang Luwu’ dan meluaskan pengaruhnya di daerah-daerah Luwu’. Ini membolehkan Wajo’ menguasai beberapa kawasan-kawasan yang strategis.

+
KELAHIRAN SUKU-SUKU DI SULAWESI
Makassar
Suku Makassar adalah nama Melayu untuk sebuah etnis yang mendiami pesisir selatan pulau Sulawesi. Lidah Makassar menyebutnya Mangkassara' berarti Mereka yang Bersifat Terbuka.

Etnis Makassar ini adalah etnis yang berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah, gemar berperang dan jaya di laut. Tak heran pada abad ke-14-17, dengan simbol Kerajaan Gowa, mereka berhasil membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut yang besar berhasil membentuk suatu Imperium bernafaskan Islam, mulai dari keseluruhan pulau Sulawesi, kalimantan bagian Timur, NTT, NTB, Maluku, Brunei, Papua dan Australia bagian utara. Mereka menjalin Traktat dengan Bali, kerjasama dengan Malaka dan Banten dan seluruh kerajaan lainnya dalam lingkup Nusantara maupun Internasional (khususnya Portugis). Kerajaan ini juga menghadapi 
Perang  yang dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat adudomba Belanda terhadap Kerajaan taklukannya.

Perang Makassar 1669
Kesultanan Gowa

Berbicara tentang Makassar maka adalah identik pula dengan suku Bugis yang serumpun. Istilah Bugis dan Makassar adalah istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah kedua etnis ini. Hingga pada akhirnya kejatuhan Kerajaan Makassar pada Belanda, segala potensi dimatikan, mengingat Suku ini terkenal sangat keras menentang Belanda. Dim anapun mereka bertemu Belanda, pasti diperanginya. Beberapa tokoh sentral Gowa yang menolak menyerah seperti Karaeng Galesong, hijrah ke Tanah Jawa memerangi Belanda disana. Bersama armada lautnya yang perkasa, memerangi setiap kapal Belanda yang mereka temui.

Sejarah Makassar masih sangat panjang. Generasi demi generasi yang terampas harga diri dan kepercayaan dirinya sedang bangkit bertahap demi bertahap sambil berusaha menyambung kebesaran nama Makassar, "Le'ba Kusoronna Biseangku, Kucampa'na Sombalakku. Tamammelokka Punna Teai Labuang"
Suku Mandar adalah satu-satunya suku bahari di Nusantara yang secara geografis berhadapan langsung dengan laut dalam. Lautan dalam merupakan halaman rumah-rumah mereka. Begitu mereka bangun dari tidur, mereka akan disapa oleh gemuruh air laut dan dibelai oleh angin laut. Kondisi alam mengajarkan kepada masyarakat Mandar bagaimana beradaptasi untuk mempertahankan hidup (meminjam bahasa Durkheim, struggle for survival), dan membangun kebudayaannya.

Melaut bagi suku Mandar merupakan penyatuan diri dengan laut. Laut menjadi tempat mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membangun identitasnya. Mencari penghidupan di laut (sebagai nelayan) bukanlah pekerjaan sembarangan bagi orang Mandar. Mereka tahu betul bagaimana beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di laut. Oleh karenanya, benar apa yang dikatakan Chistian Pelras dalam bukunya yang berjudul ”Manusia Bugis” (2006), bahwa orang-orang Mandar merupakan pelaut ulung. Mereka tidak akan bisa hilang dan tersesat di lautan.

Interaksi masyarakat Mandar dengan lautan menghasilkan pola pengetahuan yang berhubungan dengan laut, yaitu: berlayar (paissangang asumombalang), kelautan (paissangang aposasiang), keperahuan (paissangang paalopiang), dan kegaiban (paissangang). Pengejawantahan dari pengetahuan tersebut di antaranya adalah: rumpon atau roppong dan Perahu Sandeq. Rumpon merupakan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan yang diciptakan oleh para pelaut Mandar. Perangkap ini terbuat dari rangkaian daun kelapa dan rumput laut. Sedangkan Perahu Sandeq merupakan perahu layar bercadik yang khas Mandar, ramah lingkungan, dan tercepat di kawasan Austronesia.

Perahu khas Mandar ini terbuat dari kayu, sehingga sekilas terkesan rapuh. Namun jika membaca sejarahnya, akan diketahui bahwa perahu yang terkesan rapuh itu mampu dengan lincah mengarungi lautan luas. Panjang lambungnya 7-11 meter dengan lebar 60-80 sentimeter, dan di kiri-kanannya dipasang cadik dari bambu sebagai penyeimbang. Untuk berlayar, perahu tradisional ini mengandalkan dorongan angin yang ditangkap dengan layar berbentuk segitiga. Layar itu mampu mendorong Sandeq hingga berkecepatan 20 knot. Kecepatan maksimum melebihi laju perahu motor seperti katinting, kapal, dan bodi-bodi.

Sandeq juga sanggup bertahan menghadapi angin dan gelombang saat mengejar kawanan ikan tuna. Para pembuat Sandeq dengan cermat merancang perahu yang tangguh untuk memburu kawanan ikan, khususnya untuk mengejar kawanan ikan tuna yang sedang bermigrasi. Oleh karenanya, perahu yang dibuat harus bisa melaju cepat. Perahu ini juga digunakan para nelayan untuk memasang perangkap (rumpon) pada musim ikan terbang bertelur (motangnga).
Suku Mandar adalah suku asli di Sulawesi Barat. Menurut situs "Joshua Project" suku Mandar berjumlah 253.000 jiwa.
Suku Mandar juga berjiwa petualang hingga Ke kalimantan, sebagian besar suku Mandar bermukim di pulau Laut, Kabupaten Kota Baru. Rumah adat suku Mandar di sebut boyang. Upacara adat suku Mandar di Kecamatan Pulau Laut Selatan yaitu "mappando'esasi" (bermandikan air laut). Populasi suku Mandar di Propinsi Kalimantan Selatan : 29.322 (BPS - sensus th. 2000)




Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), populasi suku Mandar di Kalimantan Selatan berjumlah 29.322 jiwa, yang terdistribusi pada beberapa kabupaten dan kota, yaitu :

* 49 jiwa di kabupaten Tanah Laut
* 29.123 jiwa di kabupaten Kota Baru (termasuk Tanah Bumbu)
* 17 jiwa di kabupaten Banjar
* 1 jiwa di kabupaten Tapin
* 2 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Selatan
* 7 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Tengah
* 12 jiwa di kabupaten Tabalong
* 105 jiwa di kota Banjarmasin
* 6 jiwa di kota Banjarbaru
Kerajaan Luwu adalah kerajaan tertua, terbesar, dan terluas di Sulawesi Selatan yang wilayahnya mencakup Tana Luwu, Tana Toraja, Kolaka, dan Poso. Perkataan “Luwu” atau “Luu” itu sebenarnya berarti “Laut”. Luwu adalah suku bangsa yang besar yang terdiri dari 12 anak suku. Walaupun orang sering mengatakan bahwa Luwu termasuk suku Bugis, tetapi orang-orang Luwu itu sendiri menyatakan mereka bukan suku Bugis, tetapi suku Luwu. Sesuai dengan pemberitaan lontara Pammana yang mengisahkan pembentukan suku Ugi’ (Bugis) di daerah Cina Rilau dan Cina Riaja, yang keduanya disebut pula Tana Ugi’ ialah orang-orang Luwu yang bermigrasi ke daerah yang sekarang disebut Tana Bone dan Tana Wajo dan membentuk sebuah kerajaan. Mereka menamakan dirinya Ugi’ yang diambil dari akhir kata nama rajanya bernama La Sattumpugi yang merupakan sepupu dua kali dari Sawerigading dan juga suami dari We Tenriabeng, saudara kembar dari Sawerigading.
Kerajaan Luwu diperkirakan berdiri sekitar abad X yang dibangun oleh, sekaligus sebagai raja pertama adalah Batara Guru (Tomanurung) yang dipercaya turun dari langit diutus oleh ayahnya Dewa Patoto’e untuk turun mengisi kekosongan di dunia tengah. Beliau turun tepat di daerah Ussu, kecamatan Malili, kabupaten Luwu Timur lalu dikawinkan dengan We Nyili Timo’ sepupu satu kalinya yang berasal dari dunia bawah, sehingga lahirlah beberapa keturunan. Setelah dunia tengah sudah banyak penghuninya dan kehidupan di dalamnya sudah berjalan baik, maka kembalilah Batara Guru ke atas langit.
Kerajaan Luwu merupakan kerajaan paling sepuh diantara beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan karena asal-usul setiap raja di Sulawesi Selatan berasal dari Luwu. Seperi dalam kerajaan Gowa, mereka meyakini bahwa raja pertama mereka mempunyai asal-usul dari kerajaan Luwu begitu halnya dengan kerajaan Bone dan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan dan bahkan di Pulau Sulawesi serta sebagian Kalimantan. Oleh sebab itu, Luwu sangat disegani dan dihormati oleh kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan.
Pusat kerajaan Luwu (Ware’) pertama adalah di daerah Ussu. Ussu terkenal akan hasil alamnya berupa besi dan pelabuhannya yang terletak di muara sungai Cerekang , dan diyakini kalau besi-besi yang ada di Jawa untuk dipakai membuat keris pada zaman itu berasal dari Luwu. Hal ini bisa di benarkan karena dulunya Luwu sudah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain di luar Sulawesi dan hal ini dapat dibuktikan dengan tercantumnya nama kerajaan Luwu dalam kitab Negarakertagama milik kerajaan Majapahit. Kerajaan Luwu juga dikenal dengan hasil karya sastranya, yaitu I La Galigo. I La Galigo merupakan karya sastra terbesar dan terpanjang di dunia mengalahkan Mahabrata yang berasal dari India yang ditulis sekitar abad 14 lalu disalin ulang lagi oleh Colli’ Puji’e Arung Pancana Toa sebanyak 12 jilid yang kini tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda.
Pusat kerajaan Luwu (Ware’) yang terakhir adalah Palopo. Pemindahan Ware’ ini (Ware’ sebelumnya Malangke) karena letak Palopo yang strategis di pinggir Teluk Bone sehingga memudahkan untuk menjalin hubungan dengan kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan melalui laut. Pemindahan Ware’ ini dilakukan pada masa Pajung / Datu Luwu ke- 15, yaitu Andi Pattiware’ Daeng Parabung pada abad ke XV awal masuknya Islam ke Tana Luwu.
Raja terakhir dari kerajaan Luwu adalah Andi Djemma yang bergelar Petta Matinro’e ri Amaradekanna yang memerintah mulai tahun 1935-1965 Masehi. Beliau merupakan raja yang sangat dikagumi dan dibangga-banggakan oleh rakyatnya bahkan raja-raja lain di Sulawesi Selatan karena keberaniannya dalam menghadapi penjajah Belanda. Beliau rela mati dan meninggalkan seluruh harta dan kekuasaannya untuk mempertahahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Karena itulah beliau diberi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah pusat sekitar tahun 2003, dimana beliau merupakan satu-satunya raja Luwu dari sekian raja Luwu yang memerintah ketika Belanda datang menjajah negara kita yang memperoleh gelar kehormatan tersebut.
Sebelum agama Islam masuk ke Tana Luwu, masyarakat mulanya menganut Animisme. Setelah sepuluh abad lebih berdiri, kerajaan Luwu baru menerima agama Islam sekitar abad ke-15, yaitu pada tahun !593. Kerajaan Luwu merupakan kerajaan pertama di Sulawesi Selatan yang menganut agama Islam. Agama Islam sendiri di bawa ke Tana Luwu oleh Dato’ Sulaiman dan Dato’ ri Bandang yang berasal dari Aceh. Hal-hal mistik banyak mewarnai proses awal masuknya Islam di Luwu. Diyakini bahwa Dato Sulaiman dan Dato ri Bandang datang ke Luwu dengan menggunakan kulit kacang. Mereka pertama kali tiba di Luwu tepatnya di desa Lapandoso, kecamatan Bua, kabupaten Luwu.
Setelah sampai, Datu Sulaiman lalu dipertemukan dengan Tandipau (Maddikka Bua saat itu). Sebelum menerima agama yang dibawa oleh kedua Datu itu, Tandipau terlebih dahulu menantang Datu Sulaiman. Tantangan itu adalah Tandipau akan menyusun telur sampai beberapa tingkat, apabila Datu Sulaiman mengambil telur yang ada di tengah-tengah tetapi telur itu tidak jatuh atau bergeser sedikitpun, maka Tandipau akan mengakui ajaran agama Islam yang dibawa oleh Datu Sulaiman. Tandipau berani disyahadatkan asalkan tidak diketahui oleh Datu’ karena ia takut durhaka bila mendahului Datu’. Sebelum ke Malangke (Ware’) untuk menghadap Datu’, ke dua Dato’ itu terlebih dahulu membangun sebuah masjid di Bua tepatnya di desa Tana Rigella yang dibangun sekitar tahun 1594 Masehi yang merupakan masjid tertua di Sulawei Selatan. Masjid ini pernah dimasuki oleh tentara NICA pada zaman penjajahan lalu menginjak dan merobek-robek Al-Qur’an yang ada di dalam masjid. Hal inilah yang memicu kemarahan rakyat Luwu lalu terjadilah perang semesta rakyat Luwu pada tanggal 23 Januari 1946 yang selalu diperingati oleh masyarakat Luwu setiap tahunnya.
Setelah membuat masjid di Bua, Dato’ Sulaiman lalu diantar ke Ware’ (Malangke) untuk menemui Datu’ Pattiware’. Setelah terjadi dialog siang dan malam antara Datu’ dengan Dato’ Sulaiman mengenai ajaran agama yang dibawanya, maka Datu’ Pattiware’ pun bersedia diislamkan bersama seisi istana. Pada Waktu itu Pattiware’ sudah memiliki tiga orang anak, yaitu Pattiaraja (12 tahun), Pattipasaung (10 tahun, yang kemudian menjadi Pajung / Datu Luwu ke 16 menggantikan ayahnya) dan Karaeng Baineya (3 tahun), serta adik iparnya Tepu Karaeng (25 tahun). Islam lalu dijadikan sebagai agama kerajaan dan dijadikan pula sebagai sumber hukum. Walaupun sudah dijadikan sebagai agama kerajaann, penduduk yang jauh dari Ware’ dan Bua masih tetap menganut kepercayaan Sawerigading. Mereka mengatakan bahwa ajaran Sawerigading lebih unggul dibanding ajaran agama yang daibawa oleh Dato’ tersebut.
Setelah berhasil mengislamkan Datu’ Pattiware’, Dato’ ri Bandang atau Khatib Bungsu lalu pergi untuk menyebarkan Islam didaerah lain di Sulawesi Selatan. Sedangkan Dato’ Sulaiman tetap tinggal di Luwu agar bisa mengislamkan seluruh rakyat Luwu karena hal ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Beliau lalu wafat dan dikuburkan di Malangke, tepatnya di daerah Pattimang, dan ia pun diberi gelar Dato’ Pattimang.
Saat pusat kerajaan Luwu (Ware’) dipindahkan dari Malangke ke Palopo, Andi Pattiware’ yang bergelar Petta Matinro’e ri Pattimang (1587-1615 M) Datu’ pada zaman itu, memerintahkan untuk membuat suatu masjid yang dapat digunakan oleh masyarakat Palopo untuk menunaikan Shalat secara berjamaah yang letaknya tidaklah jauh dari “Salassae” istana Luwu. Masjid itu sendiri dibuat oleh Pong Mante pada tahun 1604 Masehi dimana makamnya terdapat dalam masjid Djami itu sendiri, tepatnya di bawah mimbar yang besar. Konon batu yang dipakai untuk membangun masjid itu dibawa dari Toraja dengan cara orang-orang berjejer dari Toraja sampai ke Palopo lalu batu-batu itu dioper satu per satu. Sedangkan bahan yang dipakai untuk merekatkan batu yang satu dengan yang lainnya adalah putih telur yang diambil dari kecamatan Walenrang, kabupaten Luwu.
Nama Palopo itu sendiri yang sudah lama kita kenal berasal dari kata “Pallopo’ni” yang diucapkan oleh orang-orang saat ingin menancapkan tiang masjid yang besar. Panjang tiang utama masjid ini sekitar 16 meter dan kayu yang dipakai adalah kayu Cina Guri, namun sekarang kayu jenis ini sudh tidak ada lagi. Konon kayu jenis Cina Guri ini dikutuk sehingga sekarang hanya menjadi rerumputan kecil yang biasa diberikan pada ternak sebagai makanan. Arti kata “Pallopo’” yang secara bebas berarti “masukkan dengan tepat”. Menurut kepercayaan masyarakat, seseorang belum bisa dikatakan menginjak Palopo jika ia belum pernah masuk ke dalam Masjid Djami.
Setelah empat abad lebih, bangunan masjid Jami’ masih utuh dan tetap terawat dengan baik sehingga pada tahun 2002 yang lalu Masjid Djami’ Palopo memperoleh penghargaan sebagai Masjid Tua terbaik se-Indonesia mengalahkan ribuan masjid tua lainnya di Nusantara. Setelah berkembang selama kurang lebih empat abad, agama Islam kini menjadi agama yang mayoritas dianut oleh warga Tana Luwu dan Sulawesi Selatan pada umumnya.
(La Galigo, Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia. Pusat Studi La Galigo, Divisi Ilmu Sosial dan Humaniora : Makassar).

Toraja
Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).

Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebuatn To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.

Sejarah Aluk

Konon manusia yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua.

Cerita tentang perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni: Tipamulanna Aluk ditampa dao langi’ yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme’ di kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi’ dirura.Kedua tahapan ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo Cina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.

Beberapa Tokoh penting daiam penyebaran aluk, antara lain: Tomanurun Tambora Langi’ adalah pembawa aluk Sabda Saratu’ yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.

Selain daripada itu terdapat Aluk Sanda Pitunna disebarluaskan oleh tiga tokoh, yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu’ menuju bagian barat Tana Toraja yakni ke Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, derngan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja “To Unnirui’ suke pa’pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata. Kemudian Pasontik bersama Burake Tambolang menuju ke daerah-daerahsebelah timur Tana Toraja, yaitu daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta’bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : “To Unnirui’ suku dibonga, To unkandei kandean pindan”, yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.
Tangdilino bersama Burake Tangngana ke daerah bagian tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial “To unniru’i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan”, Tangdilino diketahui menikah dua kali, yaitu dengan Buen Manik, perkawinan ini membuahkan delapan anak. Perkawinan Tangdilino dengan Salle Bi’ti dari Makale membuahkan seorang anak. Kesembilan anak Tangdilino tersebar keberbagai daerah, yaitu Pabane menuju Kesu’, Parange menuju Buntao’, Pasontik ke Pantilang, Pote’Malla ke Rongkong (Luwu), Bobolangi menuju Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, Bue ke daerah Duri, Bangkudu Ma’dandan ke Bala (Mangkendek), Sirrang ke Dangle.

Itulah yang membuat seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan Matahari”. Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.


2 komentar: