Tak dapat dipungkiri, bahwa bangsa Indonesia belum juga bisa merdeka seutuhnya dari sistem penjajahan neokolonialis dan neoimperialis, sehingga kekayaan bangsa ini terus-menerus diperas oleh negara-negara penjajah dan secara tidak sadar telah menjadikan bangsa asing sebagai tuan di negeri kita sendiri. Akibatnya, kebiasaan hidup dengan gaya feodalis yang mendewakan penjajah, dan mental budak sebagai bangsa tertindas masih membumi dalam kehidupan keseharian. Kini, sikap imperialis-kolonialis tersebut menjangkiti beberapa generasi bangsa meski era penjajahan telah lama berlalu.
Keserakahan akan penguasaan materi dengan jalan yang tidak sah, kencangnya aroma persekongkolan dalam mengambil keputusan, persatuan dan kesatuan bangsa yang rentan akan perpecahan dan konflik horizontal, perilaku zalim yang sudah membudaya, dan entengnya perbuatan amoral dilakoni oleh para punggawa bangsa yang hipokrit, adalah konsumsi harian yang tak pernah absen dari media berita Nasional. Suatu fenomena yang bertabrakan dengan nilai-nilai luhur bangsa Nusantara.
Kenyataan ini membuat kami menjadi terpicu untuk berbuat.Tak bisa duduk diam tanpa melakukan apa-apa untuk kemajuan dan kejayaan bangsa.Bahwa bangsa ini harus mampu bangkit dari kedangkalan wawasan dan mental budak yang ditinggalkan oleh penjajah dahulu.Bangsa ini harus dapat menata perilaku yang bermoral dan bermartabat, karena moralitas adalah cikal bakal terbentuknya sebuah tata nilai kehidupan yang lebih tinggi lagi. Tanpa pembenahan moral dan budaya, maka bangsa ini akan terus menggali jurang keserakahan di antara sesama menuju titik nadir kehancurannya.
Sebagai sesama anak bangsa yang memiliki kepedulian terhadap dinamika hidup dan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di bumi Nusantara, kami juga memiliki tugas dan tanggung jawab mulia untuk ikut serta menata kembali moralitas bangsa menuju adab kemanusiaan yang setara dan berkeadilan.Kelayakan taraf hidup yang seharusnya ada pada setiap keluarga sebagai pengelola alam semesta bersandarkan pada prinsip keseimbangan. Begitupula kelayakan yang ada pada pola pikir massa tentang posisi bangsa ini yang sesungguhnya pernah diperhitungkan oleh bangsa lain dalam percaturan dunia. Nusantara pernah memiliki peradaban yang tinggi dengan pola hidup yang bermartabat, sehingga disegani oleh bangsa-bangsa lain di muka bumi.
Kami berpandangan, bahwa semua permasalahan ini bukan dikarenakan oleh sistem politik atau ketidakadilan ekonomi dan sosial semata, melainkan juga sebagai buah dari abrasi nilai-nilai moral spiritual dan budaya Nusantara hingga mengakibatkan kemerosotan moral penguasa dan masyarakat bangsa secara menyeluruh yang sudah mendekati titik nadirnya. Coba lihat, anak-anak bangsa tidak lagi mengenal tradisi para leluhur bangsa, anak cucu tidak lagi mengenal adat dan tatakrama di dalam masyarakat, dan para orang tua mempertontonkan perilaku buruk di depan anak-anaknya. Sang cucu bertingkah seenaknya memporakporandakan perabot rumah sendiri, anarkis, bahkan tidak segan menzalimi saudaranya sendiri, akibat sang Bapak sedemikian sibuk mengurusi nafsu keserakahan dan kemewahan duniawi, hingga lupa mengajarkan budaya dan tata nilai kepada generasi berikutnya yang sebelumnya telah diajarkan oleh sang Kakek dan nenek moyang Nusantara secara turun temurun.
Perjalanan sejarah pergumulan peradaban dunia dan ummat manusia adalah dua hal yang saling terkait, termasuk sejarah peradaban Nusantara.Olehnya itu, sejarah tidak dapat dipisahkan dari rentetan perjalanan kehidupan manusia masa lampau, kini dan masa datang.Ini merupakan satu interaksi yang berkelanjutan yang tiada berujung.Sejarah kehidupan para leluhur Nusantara bukanlah dongeng pengantar tidur anak-anak kita, tetapi pusaka yang tak ternilai harganya. Mulai dari sejarah datangnya misi nabi Ibrahim (Abraham) ke Nusantara lewat generasi Kentura (isteri ketiganya), Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara di Banten, Kerajaan Kandis di Lubuk Jambi, Kerajaan Melayu Jambi, Kerajaan Sriwijaya di Palembang, Kerajaan Tulang Bawang di Lampung, Kerajaan Perlak dan Samudera Pasai di Aceh, Kerajaan Panjalu di Kediri, Kerajaan Singasari dan Majapahit di Jawa Timur, Kerajaan Demak dan Mataram di Jawa Tengah, Kerajaan Wajo dan Gowa-Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Ternate, Kesulatanan Solo dan Ngayogyakarta Hadiningrat dan yang lainnya hingga sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Untuk itu, manipulasi data sejarah peradaban bangsa Nusantara oleh para penjajah atau penguasa berakibat pada buta sejarahnya generasi bangsa ini akan nilai-nilai luhur Nusantara yang telah terbukti mampu mengantarkan Nusantara ke puncak kejayaannya pada eranya. Yang seharusnya dapat menjadi spirit (ruh) dan cermin bagi kejayaan Nusantara di masa datang.
Belakangan ini, beberapa upaya ilmiah telah banyak dilakukan oleh para ahli tentang sejarah dan budaya Nusantara, mulai dari penelitian tentang ras Austronesia sebagai nenek moyang bangsa Indonesia yang sudah ada di kepulauan Nusantara ini sekitar 5000 tahun lalu. Teori tentang Sunda Land sebagai pusat peradaban yang maju ribuan tahun silam yang dikenal dengan benua Atlantis (taman Eden) yang hilang, hingga penelitian yang mengungkap jejak misi Ibrahim (Abraham) pada Kerajaan Majapahit yang selama ini oleh para sejarawan dan filolog Barat (baca: Kolonial) diklaim sebagai Kerajaan Hindu, namun tradisi yang berlaku dalam Kesultanan Majapahit sesungguhnya merupakan tradisi yang menjadi jalan hidup para nabi dan orang orang terdahulu.
Disinilah, komitmen kita bersama untuk melestarikan dan menjaga pusaka budaya Nusantara ini agar dapat diwariskan kepada anak cucu dan generasi kita selanjutnya adalah pekerjaan rumah tersendiri bagi generasi muda bangsa ini ke depan. Bukan hanya untuk mewariskan cerita mereka semata, melainkan spirit (ruh) dari kehidupan mereka harus dapat direaktualisasikan pada kehidupan kita hari ini (sesuai zaman dan kondisinya).Visi Patih Gajah Mada yang ingin menyatukan Nusantara, misalnya, adalah sebuah visi mulia yang hari ini jangan hanya dijadikan referensi sejarah belaka, melainkan juga harus senantiasa mengilhami kehidupan para generasi pelanjut bangsa dan negara ini.
Komitmen ini membentuk sebuah tatanan sendiri dalam diri kami, yang tanpa direkayasa semakin hari kami menemukan jati diri kami yang sesungguhnya.Aktivitas kami tidak hanya mempelajari sejarah yang terkait dengan keberadaan bangsa di bumi Nusantara ini, membuat seminar-seminar kecil dan besar atau diskusi-diskusi ilmiah.Karena diskusi ilmiah tentang sejarah kehidupan seseorang hanya akan menjadi referensi semata bila kita tak mampu menyelami dasar pemikiran dan perjuangan para leluhur Nusantara sebagai pelaku sejarah. Diskusi jangan hanya berhenti pada level wacana, namun harus mempelajari lebih jauh pesan dan tujuan hidup mulia mereka serta apa-apa saja yang dapat kita implementasikan untuk kehidupan hari ini, esok dan masa datang.Bahkan kita pun harus mampu melanjutkan dan memperjuangkan kembali spirit (ruh) dan visi mulia mereka.
Selain itu, hal lain yang turut memanggil kami untuk bangkit dan berkarya adalah, setelah enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila sebagai dasar negara telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik bangsa, mulai zaman Orde Lama dengan demokrasi parlementer, zaman Orde Baru dengan demokrasi terpimpin hingga Orde Reformasi saat ini dengan demokrasi multipartai. Dari zaman ke zaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji kesaktiannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.Kesaktian Pancasila semakin teruji karena cita-cita luhur dari para pendiri bangsa sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 belum juga bisa terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, atau masih sebatas impian. Meskipun cita-cita luhur tersebut sering kali menjadi angin surga bagi kalangan akar rumput dari janji-janji politik para (calon) penguasa.
Sejak jatuhnya rezim Orde Baru 21 Mei 1998, kita memasuki era reformasi yang sejatinya merupakan proses perubahan atau perombakan atas sistem nilai dan tatanan lama yang dinilai keliru. Tidak heran jika era reformasi telah melambungkan sejuta asa bagi rakyat Nusantara akan perubahan nasib mereka menuju kehidupan damai sejahtera. Di satu sisi, kita menyambut gembira era reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan berpolitik tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: Di manakah peran Pancasila kini berada?
Pertanyaan ini penting dikemukakan, karena sejak lengsernya Orde Baru dan lahirnya reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi.Tidak sedikit dari anak-anak negeri ini yang tidak dapat melafazkan Pancasila dengan benar berikut simbol-simbolnya, apalagi untuk mengaktualisasikannya.Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti pohon kayu yang tersandar pada sebuah kekuatan rezim Penguasa (Orde Baru) yang pada saat rezim Orde tersebut jatuh, maka Pancasila pun ikut jatuh bersama sang penguasa. Pancasila kini berada di lorong sunyi justeru di saat denyut nadi kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin hiruk-pikuk dengan optimalisasi peran civil society, supremasi hukum, dan kebebasan berpolitik. Mengapa kita seolah melupakan Pancasila?
Bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, nasib dari Pancasila sama mirisnya dengan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya yang juga semakin ditinggal oleh "penggemarnya". Lagu Indonesia Raya tak ubahnya sebagai bacaan wajib dalam sebuah acara ritual keagamaan yang hampa akan makna dan tak punya spirit (ruh) sedikit pun untuk dapat membangkitkan jiwa kejuangan yang menyanyikannya. Dia hanya dikumandangkan pada acara-acara kenegaraan atau tatkala para Arjuna dan Srikandi bangsa Indonesia mendulang emas dalam sebuah kejuaraan cabang olah raga, seperti saat berlangsungnya Sea Games ke-26 yang baru lalu. Namun setiap kali Lagu Kebangsaan tersebut dikumandangkan, tak sedikit pun menggugah jiwa raga kita sebagai anak bangsa seperti yang diinginkan dari makna dan spirit lagu Indonesia Raya. Kita hanya mampu berucap "Merdeka! Merdeka!", namun tidak mampu membangkitkan semangat kita untuk betul-betul hidup menjadi pribadi-pribadi yang merdeka.
Kiranya kurang bijak, jika kesalahan dan kekhilafan para pemimpin bangsa di era yang lalu menyebabkan kita turut membenci Pancasila yang sejatinya merupakan karya luhur dari para pendiri bangsa. Pancasila sebagai dasar negara tak terkait dengan era pemerintahan Orde Lama, Orde Baru atau Orde Reformasi, sehingga Pancasila sejatinya terus menerus harus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan anak-anak negeri, dari waktu ke waktu. Tanpa pemahaman yang benar akan nilai-nilai dasar negara, maka aktualisasinya akan kehilangan arah dalam perjalanan bangsa ke depan, terlebih kita memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit. Reformasi di segala bidang akan menemukan arah yang benar manakala segenap eksponen dan komponen bangsa dapat menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila �yang sejatinya merupakan inti sari dari nilai-nilai luhur Nusantara yang berdasar dari nilai-nilai Kebenaran Universal, dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh damai, cinta kasih dan saling menghormati di tengah pluralitas bangsa yang majemuk ini.
Gerakan reinterpretasi dan reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham fanatisme suku atau kelompok yang dapat menjurus pada konflik horizontal dan anarkisme dengan mengatasnamakan agama atau keyakinan tertentu yang kembali marak belakangan ini. Kami meyakini, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dan premanisme jalanan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Lebih ironi lagi, manakala tindakan-tindakan tersebut juga dilakukan oleh para aparat penguasa yang sejatinya menjadi pelindung dan penjamin keamanan dan kenyamanan hidup di atas bumi pertiwi ini. Belum lagi ditambah oleh musibah dan bencana yang silih berganti menerpa bangsa ini, yang kesemuanya juga merupakan balasan atas ulah jahat tangan-tangan manusia yang telah diperbudak oleh nafsu angkara dan nafsu serakah atas kekayaan alam Ibu Pertiwi. Bumi pun turut bergejolak menuju titik keseimbangannya sebagai hukum sebab akibat yang berlaku pada alam makrokosmos, sekaligus sebagai ingatan bagi para penghuninya, khususnya manusia.
Dari beberapa fenomena gerakan anti kemajemukan, fanatisme kelompok dan tindakan pengecut para teroris atau aksi anarkis tersebut menunjukkan bahwa cita-cita membangun budaya bangsa Nusantara yang damai, beradab dan berbudi luhur, serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih menjadi mimpi kita bersama. Krisis moral, budaya dan spiritual ini terjadi karena matinya spirit kebenaran dari nilai-nilai Universal, padamnya cahaya hidup akan nilai-nilai luhur Nusantara, menipisnya kesadaran akan kemajemukan, dan hilangnya ruang aspirasi publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi antar anak negeri dalam diri setiap warga bangsa.
Kami, Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR), berpendapat bahwa saat ini, kita perlu melakukan gerakan reinterpretasi, reaktualisasi, dan restorasi nilai-nilai luhur Pancasila dalam memperkuat kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa menuju fajar kebangkitan dan kejayaan Nusantara di masa datang. Gerakan ini semakin niscaya dalam rangka upaya memperkuat paham kebangsaan kita dan sekaligus memberi solusi atas sebuah ketidakpastian, ke mana biduk peradaban bangsa ini akan berlayar di tengah lautan dunia yang penuh tantangan dan multikrisis?
Untuk itu, pembumian nilai-nilai Pancasila sebagai sebuah tata nilai luhur (noble values) wajib diaktualisasikan, sehingga menjadi pandu dalam setiap lini kehidupan.Betul, kini kita sedang menghadapi tantangan dan problema kebangsaan yang sangat kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global yang membutuhkan solusi yang benar, terencana, terarah dan berkesinambungan. Kami meyakini dengan menjadikan nilai-nilai kebenaran Universal dan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai pandu bagi Ibu Pertiwi, maka arah menuju hari esok Indonesia yang lebih baik dan lebih pasti, yakni Indonesia Raya akan terwujud.
Sebagai generasi penerus Kemerdekaan Republik Indonesia, kami pun menyadari, bahwasanya kejayaan suatu bangsa di muka bumi ini sangat ditentukan oleh seberapa besar bangsa itu menghargai sejarah bangsanya di masa lalu, masa kini dan visi di masa datang. Ketika suatu bangsa tidak lagi peduli akan identitas jati dirinya dan eksistensi bangsanya dalam percaturan peradaban dunia, dapat dipastikan bangsa itu akan binasa dan punah dari muka bumi.
Hidup dan kehidupan ummat manusia di muka bumi ini sangat tergantung pada peredaran ruang dan waktu yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan hukum universal di atas prinsip "pergantian dan pergiliran" antara hidup dan mati, antara kebangkitan dan kehancuran, antara kejayaan dan kebangkrutan atau dalam bahasa religius dikatakan "antara berkat dan kutuk".
Sejarah dunia mencatat bahwa bangsa Nusantara ini adalah bangsa yang besar dan unggul dalam peradaban, baik budaya maupun teknologi.Letak Nusantara yang berada di antara dua lautan besar dan rute ekonomi dunia serta alamnya yang subur menyebabkan bangsa ini memiliki wawasan yang luas dalam hal etnis, bahasa, budaya maupun ideologi dan agama.Kejayaan Nusantara mulai meredup seiring terjadinya perubahan zaman, dimulai dari kehancuran peradaban Islam di Baghdad dan Andalusia sebagai pusat peradaban dan kekuasaan politik dunia.Sejarah panjang kejayaan Nusantara berakhir di zaman Majapahit awal abad ke-16 Masehi.Sejak itu, Nusantara dijajah oleh Imperialis Barat sampai dengan revolusi kemerdekaan 1945. Kemerdekaan Bangsa Indonesia (Nusantara) adalah "anugerah" Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan "jembatan emas" bagi kembalinya Kejayaan Nusantara.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki kepribadian dan jati diri yang kokoh berlandaskan semangat kemandirian, kekuatan bersama dan berwawasan Nusantara. Persatuan dan kesatuan bangsa harus dipererat oleh seluruh eksponen dan komponen Bangsa Indonesia. Perbedaan diantara sesama putera-puteri Nusantara janganlah menjadi penyebab untuk tidak bersatu, tetapi hendaknya dijadikan kekayaan dan potensi sebagai kekuatan bagi Bangsa di bumi Nusantara.
Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) hadir dan tampil di tengah masyarakat untuk memberikan dharma baktinya kepada bangsa dan rakyat Indonesia. Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) adalah Organisasi Kemasyarakatan yang bertekad untuk memperjuangkan Keadilan, Kemakmuran, dan Kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia menuju tatanan kehidupan damai sejahtera, dengan jalan mengembalikan jati diri dan nilai-nilai luhur bangsa, serta mengangkat harkat, martabat dan kejayaan Nusantara di tengah-tengah percaturan dunia. Seluruh warga bangsa ini, mulai dari Aceh hingga Papua adalah anak kandung Ibu Pertiwi, anak kandung revolusi kemerdekaan 1945 dan anak kandung Nusantara Jaya. Jika kita memiliki tekad dan kemauan, maka yakinlah bahwa Tuhan Yang Maha Pengasih pasti akan memberi petunjuk dan membuka jalan: Jalan Kebenaran menuju Kejayaan, Keadilan, Kemanusiaan, dan Kesetaraan.
Cita-cita luhur tersebut hanya dapat dicapai dengan terusberjuang mempertahankan falsafah luhur kepribadian Bangsa Indonesia yang berintikan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Demi cita-cita tersebut, Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) dalam kedudukannya sebagai wadah aspirasi warga negara Indonesia yang sadar akan besarnya tantangan perubahan moral kemanusiaan dan kebangsaan yang sedang dan akan dihadapi oleh bangsa, terpanggil untuk ikut berperan aktif mengembangkan dan merumuskan pemikiran dan konsep strategis, sekaligus mengupayakan pemecahan konkrit permasalahan lokal, nasional, regional, dan global berlandaskan pada nilai-nilai luhur bangsa yang telah terbukti secara historis membawa kejayaan Nusantara pada zaman Sriwijaya dan Majapahit.
Cita-cita tersebut kian menjadi spirit dan keyakinan yang hidup dan bergelora dalam alam kesadaran kami, putera-puteri Gerakan Fajar Nusantara, karena hal tersebut sudah menjadi perbincangan panjang dalam sejarah Nusantara.Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa nubuat Kitab Suci dan kitab-kitab karya para leluhur Nusantara. Mulai dari Jangka Jayabaya dalam Kitab Musarar, ramalan Sabda Palon-Nayagenggong, Serat Darmogandul, Uga wangsit Siliwangi, hingga ramalan Ronggowarsito tentang Satrio Piningit, yang kesemuanya berbicara berita gembira tentang akan datangnya saat kebangkitan dan kejayaan Bumi Nusantara sebagai Mercusuar Dunia menjadi Negeri yang damai sejahtera berdasarkan nilai-nilai Kebenaran Universal yang bersumber dari Tuhan Semesta Alam, Tuhan Yang Maha Esa. Kehidupan Nusantara Jaya yang dalam Jangka Jayabaya digambarkan sebagai gemah ripah harja kreta, tata tentrem ing salami-lami, ilang kang samya laku dur, murah sandang lan boga, kang hamangkuasih mring kawulanipun, lumintu salining dana, sahasta pajeg saripis (kemakmuran melimpah ruah, langgeng, tertib tentram selamanya, hilanglah kedurjanaan, murah sandang pangan, pemimpin yang penuh tanggung jawab dan kasih sayang kepada rakyatnya, tidak pernah kekurangan uang, ibaratnya tanah satu hektar pajaknya satu rupiah). Atau dalam ungkapan lain sering dikatakan, bumi Nusantara kelak akan menjadi gemah ripah loh jinawi adil makmur tata titi tentrem kertaraharja dadi keblating dunyo (negeri subur melimpah, adil, makmur, tertib, tentram, damai selamanya, serta menjadi kiblat dan contoh bagi negara-negara di seantero dunia).
Berdasarkan cita-cita dan keyakinan tersebut,dan atas dasar kebulatan tekad untuk ikut berpartisipasi aktif di dalam menyelamatkan bumi Nusantara (Ibu Pertiwi) yang kita cintai ini, dan desakan atas kebutuhan satu wadah pergerakan resmi, serta memohon petunjuk dan pertolongan Tuhan Yang Maha Esa, maka kami para putera-puteri Nusantara, dan atas prakarsa 52 orang Badan Pendiri bersepakat untuk bersatu dalam suatu wadah pergerakan dengan membentuk Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR).
Patut digarisbawahi, Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) didirikan bukan atas dasar kepentingan kelompok, golongan, aliran, suku, agama, kepercayaan atau ras manapun. Demikian halnya, Gerakan ini juga bukanlah sarana untuk mencari kekuasaan, jabatan, kekayaan atau prestise duniawi yang sesaat dan fatamorganis, namun organisasi kemasyarakatan Gerakan Fajar Nusantara ini adalah gerakan pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa dimana bumi pertiwi Indonesia Raya sebagai media tanam (lahan) dan warga Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) sebagai tanaman-tanaman-Nya. Gerakan ini juga berdiri di atas prinsip-prinsip kehidupan yang nature dan ilmiah sebagai sebuah sistem Kebenaran Universal yang bertujuan menghidupkan dan membangun jiwa raga Bangsa Indonesia agar Indonesia Raya menjadi Mercusuar Dunia di masa datang, Nusantara menjadi wasit dunia, Bumi Pertiwi berada di atas segala bangsa-bangsa dunia, seperti yang dahulu dicita-citakan oleh para leluhur Nusantara dan pendiri bangsa.
Pada kesempatan ini pula, kami berseru kepada seluruh elemen bangsa, khususnya kepada warga Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR )di seluruh Nusantara, marilah kita saling berpegang tangan dan menyatu dalam menjawab dan menyelesaikan permasalahan bangsa yang sudah sedemikian akut. Kita yakin bahwa Fajar Nusantara akan menyingsing untuk menerangi dan menghidupi peradaban manusia di muka bumi dengan perilaku yang diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penolong hamba-hamba-Nya yang taat.
Kami putera-puteri generasi Nusantara yang terikat dan tergabung dalam satu Organisasi Kemasyarakatan GERAKAN FAJAR NUSANTARA (GAFATAR) sekali lagi menegaskan dan menyatakan, SIAP menjadi eksponen bagi kebangkitan dan kejayaan Nusantara agar Bangsa Indonesia menjadi Bangsa Percontohan di muka bumi.
VISI MISI
Sebagaimana lazimnya sebuah Komunitas atau Organisasi yang memiliki visi dan misi, maka Organisasi Kemasyarakatan Gerakan Fajar Nusantara pun memiliki visi dan misi yang berbeda dari organisasi lainya, yakni:
V i s i
Terwujudnya tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang damai sejahtera, beradab, berkeadilan dan bermartabat di bawah naungan Tuhan Yang Maha Esa melalui penyatuan nilai-nilai luhur bangsa, peningkatan kualitas ilmu dan intelektualitas, serta pemahaman dan pengamalan nilai-nilai universal agar menjadi rahmat bagi semesta alam.
M i s i
Memperkuat solidaritas, kebersamaan, persatuan, dan kesatuan khususnya antar sesama elemen bangsa Indonesia serta dunia pada umumnya. Selain itu, juga memupuk saling pengertian dan kerjasama antar sesama lembaga yang memiliki kepedulian dan perhatian terhadap upaya perdamaian dan kesejahteraan dunia.
TUJUAN
pendirian Organisasi Kemasyarakatan Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Sebagai wadah menghimpun putra-putri Nusantara dalam menyatukan pemahaman moral kemanusiaan dan kebangsaan yang inklusif, kokoh, cerdas, dan menyatu.
2. Sebagai sarana komunikasi dan menumbuhkan persaudaraan diantara sesama putra-putri Nusantara baik di indonesia maupun di negara-negara lain di dunia
3. Mempertahankan dan memperjuangkan cita-cita luhur bangsa yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
4. Mewujudkan dan melahirkan kader-kader pemimpin bangsa yang jujur, berani, tegas, adil, cakap, ber-integritas, bijaksana, cerdas dan sehat, dengan berlandaskan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar