Pada tanggal 9 April 1945, pemerintah bala tentara Jepang merealisasikan janjinya melalui pembentukan “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai” atau badan untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemer-dekaan. Yang menjabat sebagai ketuanya adalah Dr. Radjiman Widyodiningrat dan wakil ketuanya adalah R.P. Suroso. Seluruh anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai berada di Jawa dan Madura, meskipun tugasnya meliputi seluruh Indonesia. Adanya tugas-tugas yang begitu luas karena mengikuti model administrasi kemiliteran bala tentara Jepang. Menurut kemiliteran bala tentara Jepang, perwilayahan di Indonesia terbagi dalam wilayah kekuasaan Angkatan Darat (RIKU-GUN) untuk Jawa dan Sumatera, adapun untuk Indonesia Timur dikuasai oleh Angkatan Laut (KAIGUN).
Pelantikan Badan Penyelidik tersebut dilaksanakan pada tanggal 28 Mei 1945 di Jakarta dengan jumlah personel sebanyak 62 orang, kemudian ditambah 8 orang sehingga berjumlah 68 orang. Tujuan dibentuknya Badan Penyelidik adalah untuk menyelenggarakan pemeriksaan dasar tentang hal-hal yang penting, rancangan-rancangan dan penyelidikan-penyelidikan yang berhubungan dengan usaha mendirikan negara Indonesia.
Lahirya Istilah Pancasila.
Pada tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945, Badan Penyelidik menyelenggarakan persidangan yang sifatnya rahasia. Acara sidang tersebut membahas tentang dasar dan bentuk negara. Dalam persidangan tersebut banyak pidato-pidato yang disampai-kan, namun yang diketahui secara umum hanyalah pidato-pidato ; 1 Dari Mr. M Yamin 2. Dari Mr. Soepomo., dan 3.Dari Ir. Soekarno.
Pada tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945, Badan Penyelidik menyelenggarakan persidangan yang sifatnya rahasia. Acara sidang tersebut membahas tentang dasar dan bentuk negara. Dalam persidangan tersebut banyak pidato-pidato yang disampai-kan, namun yang diketahui secara umum hanyalah pidato-pidato ; 1 Dari Mr. M Yamin 2. Dari Mr. Soepomo., dan 3.Dari Ir. Soekarno.
Adapun pidato-pidato dari anggota-angota yang lain, sampai saat ini belum diketahui. Seandainya naskah-naskah tersebut masih ada maka hendaklah instansi yang berwenang segera mendokumentasikan dan mengumumkannya ke masyarakat umum. Apalagi naskah-naskah tersebut tidak bisa dilepaskan dari proses perkembangan perjuangan pergerakan kemerdekaan Bangsa Indonesia, maka sangatlah penting naskah-naskah tersebut untuk penulisan sejarah kebangsaan Indo-nesia.
Kemudian pada hari ke-3 sidang I, yaitu tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno tampil menyampaikan pidatonya tentang “Philosofische Gronslag” atau Landasan Dasar Filsafat Undang-Undang Dasar Yang Sedang Dipersiapkan. Dan pidatonya Ir. Soekarno atau Bung Karno itu muncullah pemahaman umum, lahirnya Panca-sila. Didalam sidang tersebut, Bung Karno menyampaikan argumentasinya tentang sebutan Pancasila.
“Saudara-saudara! Dasar-dasar negara telah saya usulkan, lima bilangannya. Inilah Panca Darma? Bukan! Nama Panca Darma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik, simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya, jari kita lima setangan, kita mempunyai panca indera, apalagi yang lima bilangannya (seorang yang hadir menjawab) Pandawa Lima, Pendawa-pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip ; Kebangsaan, Internasionalisme, Mufakat, Kesejahteraan, dan Ketuhanan, lima pula bilangannya”
“Namanya bukan Panca Dharma tetapi saya namakan dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah “Pancasila” Sila artinya Azaz atau Dasar, dan diatas lima dasar itulah kita mendirikan negara Indo-nesia, kekal dan abadi” Demikianlah kutipan pidatonya Bung Karno tentang pemberian nama terhadap azaz-azaz kenegaraan.
Dan pada dasarnya istilah Pancasila itu adalah merupakan tuntunan akhlaq (code of morality) dari literatur umat Budha, yang biasanya perkataan tersebut disingkat menjadi “Pansil”. Menurut ajaran Budha bahwa Pancasila itu di dalam Vinaya adalah peraturan-peraturan untuk menjauhkan diri dari pembunuhan, mencuri, kebejatan/kejahatan sexual, kepalsuan dan minuman yang memabukkan.
Jadi Pancasila itu berasal dari negeri India sebagai ajaran Sang Sidharta Gautama. Kemudian oleh Raja Asyoka di India, Pancasila dijadikan suatu dasar akhlak (code of morality) bagi rakyatnya demi kemajuan kehidupan rohani rakyat di Kerajaan Asyoka.
Menurut Almukarom Mursyid Thoriqoh Shiddiqiyyah Kyai Moch. Mochtar Mu’thi bahwa Shidharta Gautama itu adalah Nabi Dzulkifli As. Dawuh beliau bersumber dari Kitab Tafsir Qosimi. Sepeninggal Sang Budha Sidharta Gautama perkembangan agama Budha semakin pesat di luar India, termasuk perkembangan Budhisme di tanah air kita bersama Pancasilanya. Maka dapat disimpulkan bahwa Pancasila itu bukanlah istilah Baru bagi bangsa Indonesia karena Pancasila merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dasar-dasar tuntunan akhlak penganut Budha. Apalagi di negara kita berabad-abad yang lalu di jaman kekuasaan Sriwijaya, negeri kita pernah menjadi pusat perkembangan agama Budha seluruh dunia.
Meskipun kerajaan Sriwijaya telah sirna dari bumi Indonesia dan agama Budha pun telah terbenam bersama terbenamnya matahari kekuasaan Sriwijaya di bumi Indonesia. Namun endapan-endapan Pancasila sebagai code of morality agama Budha masih tumbuh subur di kalangan orang-orang Jawa tradisional sebagai larangan-larangan yang disebut “MO-LIMO” (Lima – M) yaitu Mateni (dilarang membunuh), Maling (dilarang mencuri), Madon (dilarang berzina), Main (dilarang berjudi), Minum/ Madat (dilarang minum yang memabukkan dan Narkoba)
Di bawah ini nukilan teks “Pancha-Shila” dari literatur Budhisme kitab Vinaya PANCHA SHILA
- Panatipata veramani sikkhapadam samadiyani (kami berjanji untuk menghindari pembunuhan)
- Adinnadana veramani sikkha-padam samadiyani (kami berjanji untuk menghindari pencurian)
- Kamesu Micchara veramani sikkhapadam samadiyani (kami berjanji untuk menghindari perzina-han)
- Mussavada veramani sikkhapadam samadiyani (kami berjanji untuk menghindari kebohongan).
- Surameraya majja pamadattahana veramani sikkapadam samadiyani (kami berjanji untuk menghindari makanan dan minuman yang memabukkan dan menjadikan ketagihan)
Pancasila menurut “Piagam Jakarta”
Didalam buku, naskah persiapan undang-udang dasar 1945, menyebutkan tentang pendapat Prof. Mr. Haji Muhammad Yamin “….Dokumen politik bertanggal 22 Juni 1945 yang dalam sejarah akan bernama Piagam Jakarta ditandatangani oleh 9 peng-anjur, terbukti mempunyai daya penarik dapat mempersatukan gagasan ketatanegaraan dengan tekat bulat atas persatuan nasional menyongsong datangnya negara Indonesia yang merdeka, berdaulat’.
Didalam buku, naskah persiapan undang-udang dasar 1945, menyebutkan tentang pendapat Prof. Mr. Haji Muhammad Yamin “….Dokumen politik bertanggal 22 Juni 1945 yang dalam sejarah akan bernama Piagam Jakarta ditandatangani oleh 9 peng-anjur, terbukti mempunyai daya penarik dapat mempersatukan gagasan ketatanegaraan dengan tekat bulat atas persatuan nasional menyongsong datangnya negara Indonesia yang merdeka, berdaulat’.
Mengenai 9 penganjur atau panita 9 tersebut Ir. Soekamo menyebutkan didalam Rapat ke-I Sidang ke-II Badan Penyelidik pada tanggal 10 Juli 1945 “Panitia 9 orang inilah sesudah mengadakan pembicaraan yang masak dan sempurna telah mencapai hasil baik untuk mendapatkan satu modus, satu persetujuan, antara pihak Islam dan pihak kebangsaan. Modus persetujuan itu termaktub di dalam satu rancangan pembukaan hukum dasar rancangan preambule hukum dasar, yang dipersembahkan sekarang oleh Panitia Kecil kepada sidang sekarang ini, sebagai usul”
Pada tanggal 14 Juli 1945 Ir. Soekarno dihadapan Sidang Pleno Dokuritsu mempertahankan rumusan usulan panitia 9 dengan argumentasi yang cukup mengesankan. “Paduka tuan ketua, kami panitia perancang menge-tahui bahwa anggota yang terhormat Sanusi minta perkataan “…bagi pemeluk-pemeluknya” dicoret, sekarang ternyata bahwa anggota terhormat Hadi Kusumo minta juga dicoretnya, tetapi kami berpendapat, bahwa kalimat-kalimat ini seluruhnya berdasar Ke-Tuhanan, sudahlah hasil kompromis diantara dua pihak. Sehingga dengan adanya kompromis itu perselisihan diantara dua pihak hilang. Tiap kompromis berdasar kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen. Ini suatu kompromis yang berdasar memberi dan mengambil, bahkan kemarin di dalam panitia soal itu ditinjau lagi dengan sedalam-dalamnya diantara lain-lain, sebagai tuan-tuan yang terhormat mengetahui, dengan tuan Wachid Hasyim dan Agus Salim diantara anggota panitia, kedua-duanya pemuka Islam. Pendek kata inilah kompromis yang sebaik-baiknya. Jadi panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Moch. Yamin “Jakarta Charter” yang disertai perkataan tuan anggota yang terhormat Sukiman, gentlemen agreement supaya ini dipegang teguh diantara pihak Islam dan pihak kebangsaan, saya mengharap paduka tuan yang mulia, rapat besar guna membenarkan panitia itu”.
Selanjutnya dibawah ini penulis nukilkan teks Pancasila yang termuat dalam Piagam Jakarta sebagian dari alenia yang ke-IV; “……… yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada ; Ke-Tuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya, menurut dasar Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksaan Dalam Permusyawaratan Dan Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pada tanggal 17 Juli 1945 Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia menutup sidangnya yang terakhir. Berakhimya sidang tersebut maka selesailah rancangan pernyataan, pembukaan dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang ditandai dengan ucapan diterima dengan sebulat-bulatnya oleh ketua yaitu Dr. Rajiman Wedyodiningrat.
Pancasila menurut pembukaan UUD’45, di bawah ini penulis nukilkan sebagian dari alenia ke-IV nya, pembukaan UUD’45 ; “……. yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan serta, dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
Menurut laporan Drs. Moch. Hatta mengenai dihilangkannya kata-kata “……… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” kemudian diganti dengan kata-kata Yang Maha Esa” adalah untuk bisa mewujudkan persatuan yang bulat, ditambahkan oleh Drs. Moch. Hatta dalam laporan tersebut dengan pidatonya, “Dengan membuang ini maka seluruh hukum undang-undang dasar dapat diterima oleh daerah-daerah Indonesia yang tidak beragama Islam, umpamanya yang pada waktu sekarang diperintah KAIGUN, persetujuan dalam hal ini sudah didapat antara berbagai golongan sehingga memudahkan pekerjaan kita pada waktu sekarang ini”
Perbandingan Teks
Apabila kita bandingkan Teks Piagam Jakarta dan Pembukaan UUD ’45 adalah perbedaannya terletak pada digantinya 7 (tujuh) anak kalimat dari rumus Sila Ketuhanan di dalam Piagam Jakarta menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi rumus Sila Ketuhanan pada Pembukaan UUD ’45 berbunyi ; Ketuhanan Yang Maha Esa.
Apabila kita bandingkan Teks Piagam Jakarta dan Pembukaan UUD ’45 adalah perbedaannya terletak pada digantinya 7 (tujuh) anak kalimat dari rumus Sila Ketuhanan di dalam Piagam Jakarta menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi rumus Sila Ketuhanan pada Pembukaan UUD ’45 berbunyi ; Ketuhanan Yang Maha Esa.
Munculnya istilah “…Yang Maha Esa” merupakan kisah historis yang sangat menarik. Sangat menariknya karena melalui proses pemikiran kompromis dan dialogis para pendiri bangsa yang menegara di Indonesia. Sehingga ketidakpuasan dua pihak yaitu antara Pihak Islam dan Pihak Nasionalis terhadap rumusan “…. dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” bisa terselesaikan dengan damai melalui lobying yang hasilnya sangat menentukan antara Mister Teuku Moch. Hasan dari Aceh dengan Ki Bagus Hadi Kusumo dari Yogyakarta, yang didampingi oleh Drs. Moch. Hatta sebagai pimpinan panitia.
Dalam lobying tersebut Mr. Hasan memberi penjelasan kepada Ki Bagus Hadikusumo mengenai makna Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pembukaan UUD ’45 dan dalam pasal 29 ayat 1 yang tujuannya adalah demi tercapainya persatuan seluruh bangsa Indonesia.
Setelah pertemuan tersebut, Prawoto Mangkusasmito (tokoh Masyumi) menanyakan kepada Ki Bagus Hadi Kusumo tentang istilah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka jawab Ki Bagus Hadi Kusumo singkat sekali yaitu Tauhid. Kemudian jawaban tersebut oleh Prawoto Mangkusasmito dikemu-kakan kepada Mr. Teuku Moch. Hasan, jawaban Mr. Teuku Moch. Hasan sama dengan jawaban Ki Bagus Hadi Kusumo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar